Oleh Frans Obon
Dunia pendidikan dasar di Manggarai dan Manggarai Timur sedang dirundung masalah amoral yang didalamnya melibatkan kepala sekolah dan guru. Sudah lama sebenarnya lembaga-lembaga pendidikan di berbagai tingkatan dirundung masalah yang sama di mana di dalamnya, ada oknum-oknum guru yang adalah pembina dan pendidik utama generasi masa depan terjatuh dalam masalah yang sama.
Dunia pendidikan dasar di Manggarai dan Manggarai Timur sedang dirundung masalah amoral yang didalamnya melibatkan kepala sekolah dan guru. Sudah lama sebenarnya lembaga-lembaga pendidikan di berbagai tingkatan dirundung masalah yang sama di mana di dalamnya, ada oknum-oknum guru yang adalah pembina dan pendidik utama generasi masa depan terjatuh dalam masalah yang sama.
Para siswa di Kota Ruteng, Flores |
Beberapa tahun sebelumnya,
kasus yang hampir sama terjadi di Kecamatan Cibal, dengan pelaku adalah guru. Sang guru telah dihukum penjara oleh
pengadilan. Tahun lalu, seorang siswa
yang sekarang duduk di bangku sekolah menengah pertama di Manggarai Timur
melaporkan seorang guru, yang menjabat kepala sekolah ke polisi dengan tuduhan pemerkosaan.
Masih tahun lalu juga, seorang guru di Manggarai Timur dilaporkan ke polisi
atas tuduhan pencabulan. Kasusnya sudah ditangani kepolisian.
Ketika kita berhadapan
dengan masalah seperti ini, kesimpulan kita yang pertama adalah kita telah
mengabaikan standar-standar yang patut dan layak bagi seseorang untuk diangkat
dan ditunjuk menjadi kepala sekolah. Jika kita membolak-balik sejarah
pendidikan kita di Flores dan Lembata, penunjukan dan pengangkatan seseorang
menjadi kepala sekolah didasarkan pada kriteria dan standar yang patut dan
layak. Kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, kecerdasan spiritual, dan
komitmen pada nilai-nilai moral dan etika menjadi kriteria standar bagi kepala
sekolah. Oleh karena itu jarang sekali kita temukan kasus-kasus seperti ini
terjadi di lingkungan pendidikan kita di masa lalu.
Hal ini ditunjang oleh
besarnya perhatian Yayasan Persekolahan kita dalam melakukan pengontrolan dan
pengawasan. Visitasi ke sekolah-sekolah dengan perayaan-perayaan ekaristi di
lingkungan pendidikan diperhatikan dengan sungguh-sungguh dan dilakukan secara
teratur. Secara teratur pelayanan sakramen dilakukan di sekolah-sekolah. Paroki
bukanlah satu-satunya pusat aktivitas kerohanian. Sekolah adalah medan bakti
dan medan pengolahan spiritual, sehingga lembaga pendidikan kita bertumbuh
dengan sehat. Warisan kultural-religius yang menjiwai sekolah-sekolah kita di
Flores dan Lembata seakan-akan terabaikan.
Langkah lain yang perlu kita lakukan adalah membebaskan lembaga pendidikan kita dari
politik praktis. Peranan strategis para guru di kampung-kampung dan desa-desa
adalah magnet bagi para politisi dan
para pemimpin lokal kita. Guru-guru menjadi mesin politik. Pada akhirnya memang
terjadi praktik politik balas jasa dan saling menunjang kepentingan. Jabatan
kepala sekolah termagnet dengan kepentingan politis praktis, yang akan selalu
menggoda para guru.
Menegakkan kembali tiang moral
di lembaga pendidikan kita hendaknya dimulai dari seleksi yang ketat terhadap
pengangkatan kepala sekolah. Yayasan persekolah kita mesti terlibat aktif dan
penuh dalam penunjukan dan pengangkatan kepala sekolah. Sinode III Sesi II tanggal 28 April–1 Mei 2014 yang membahas Pastoral Gereja di bidang sosial ekonomi dan
pastoral pendidikan adalah kesempatan baik untuk membahas masalah-masalah ini. Mungkin
dengan itu kita ingin mengembalikan sejarah emas peranan Gereja Katolik
Manggarai dalam bidang pendidikan dasar, yang dimulai sejak 1911, tahun di mana SDK di Reo didirikan, yang
menjadi awal keterlibatan Gereja Katolik di bidang pendidikan di Manggarai.
Bentara, 8 Maret 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar