Oleh FRANS OBON
Hampir menjadi
keluhan umum di setiap keuskupan di Nusa Tenggara bahwa pastoral tata dunia kita
terutama dalam urusan sosial politik masih suam-suam kuku. Kehadiran politisi-politisi
Katolik yang mengemban tugas pastoral tata dunia di pemerintahan, di lembaga legislatif,
dan lembaga negara lainnya masih belum mengimplementasikan moto 100 persen
Katolik dan 100 persen warga negara Indonesia.
Tidak terkecuali
dalam konteks kehidupan Gereja Katolik Manggarai (Kabupaten Manggarai,
Manggarai Barat, dan Manggarai Timur), kita pun mengadapi masalah serupa.
Survei yang dilakukan oleh tim Keuskupan Ruteng menunjukkan hal itu. Tingkat
kepuasan umat Katolik Manggarai terhadap bidang reksa pastoral lingkungan
hidup, sosio-politik, dan ekonomi hanyalah 31,1 persen, sementara tingkat
kepuasan umat terhadap pelayanan sakramental sangat tinggi (Flores Pos, 17 Januari 2014).
Hal ini tentu saja
mencerminkan bahwa ibadah liturgis kita yang meriah masih belum mampu mendorong
keterlibatan aktif umat Katolik untuk membarui ruang publik masyarakat
Manggarai. Padahal seharusnya liturgi kita mesti terkait erat dengan
keterlibatan kita yang aktif dalam mengubah tata kehidupan sosial kita. Kata-kata
yang diucapkan setelah perayaan ekaristi, “Pergilah, kamu diutus” adalah
kata-kata penugasan untuk mewujudnyatakan iman dalam perbuatan.
Masukan yang
diberikan Romo Franz Magnis Suseno SJ pada Sinode III Keuskupan Ruteng itu
mengafirmasi kecemasan umum masyarakat luas mengenai praktik politik kita. Menurut
Romo Magnis, nilai politik di Indonesia telah merosot oleh praktik politik yang
menguntungkan diri sendiri, keluarga dan kerabat dan mengabaikan kesejahteraan
masyarakat umum. Para politisi telah membelokkan arah politik untuk kepentingan
diri, keluarga dan kerabat mereka sendiri. Salah satu buah dari kemerosotan
nilai politik itu adalah merajalelanya korupsi (Flores Pos, 17 Januari 2014).
Direktur Pusat
Pastoral Keuskupan Ruteng Romo Martin Chen Pr dalam makalah tentang gereja dan
kerasulan politik menyampaikan tiga masalah pokok yang dominan dalam bidang sosial
politik yakni maraknya korupsi pada penyelenggara kekuasaan, politik
primordial, dan keterpecahan di kalangan
umat akibat perbedaan pilihan politik. Menurut Romo Martin Chen, Gereja harus
terlibat dalam kehidupan sosial politik guna memperjuangkan harkat dan martabat
manusia dan turut mewujudkan kesejahteraan umum. Karena itu tidaklah benar
adanya sikap pasif dalam urusan politik.
Gereja Katolik
Manggarai tentu saja tidak boleh larut dalam pesimisme dan sinisme politik,
tetapi sebaliknya terus mencari upaya-upaya baru untuk merencanakan pastoral
tata dunia yang tepat. Karena bisa saja praktik-praktik politik yang kita
keluhkan itu adalah juga buah dari reksa pastoral tata dunia yang tidak kita
rencanakan dengan baik. Kita kecewa dengan kinerja politisi Katolik dalam
lembaga parlemen, misalnya, tetapi sebagai negara demokrasi, kita tetap
memerlukan anggota parlemen. Karena merekalah yang memutuskan berbagai
kebijakan publik. Mereka memiliki legitimasi yang sah melalui mekanisme pemilu
untuk menentukan kebijakan publik. Oleh karena itu Sinode III Keuskupan Ruteng
adalah kesempatan yang baik di mana Gereja sebagai keseluruhan (hierarki dan
awam) merumuskan bersama-sama atau merumuskan sebuah roadmap reksa pastoral tata dunia yang menjawabi masalah yang ada.
Momentumnya mungkin tepat bahwa roadmap
reksa pastoral tata dunia itu dirumuskan pada tahun politik ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar