MENJELANG Natal, pusat-pusat perbelanjaan baik pertokoan maupun swalayan di Ruteng sudah mulai dipadati para pembeli. Selain barang kebutuhan pokok, para pembeli memburu pernak-pernik Natal dan pakaian dan sepatu baru. Semua ini adalah rutinitas menjelang perayaan Natal setiap tahun. Hal ini tentu saja sisi lahiriah dari perayaan Natal. Namun gegap gempita Natal dalam hal-hal lahiriah seperti ini tidak boleh melupakan sisi kerohanian dari perayaan Natal.
Surat Gembala Advent dan Natal 2015 Keuskupan Ruteng mempertegas refleksi bahwa Allah adalah cinta, yang solider dengan situasi manusia. Oleh karena itu menurut surat gembala ini, “Natal adalah peristiwa cinta mesra Allah kepada kita manusia. Karena cinta Allah menjadi manusia dan tinggal di tengah-tengah kita. Karena kasih-Nya yang begitu besar, Dia rela senasib dengan kita manusia, terlibat dalam suka duka hidup kita untuk mengantar kita menuju kepenuhan hidup ilahi. Karena belas kasih-Nya Dia tak segan masuk dalam lumpur kehidupan kita yang penuh dosa untuk menyucikan dan memberikan kepada kita masa depan baru yang indah”.
Keuskupan
Ruteng, sebagaimana dirumuskan dalam Sinode III, telah menetapkan arah dasar
Keuskupan Ruteng yakni persekutuan umat Allah yang beriman solid, mandiri, dan
solider. Iman yang solid, mandiri, dan solider ini mesti nyata di dalam aneka
gerakan dan program keuskupan. “Iman yang solid, mandiri, dan solider ini ingin
kita wujudkan melalui aneka gerakan dan program pastoral dalam 10 tahun. Tahun
pertama 2016, kita memusatkan diri pada liturgi”.
Iman yang solid
tentu saja harus lahir dari perjumpaan dengan Allah. Iman akan Allah menjadi
kokoh bila kita berjumpa dengan Allah terutama dalam liturgi. Sehingga tepatlah
Keuskupan Ruteng memulai dengan liturgi dalam mewujudkan hasil-hasil kerja
Sinode III yang telah berlangsung mulai dari 2013 hingga 2015.
Oleh karena itu
pula tepat momennya bahwa Natal kali ini harus bisa memperkuat iman akan Allah
dan meneguhkan kembali iman yang telah diterima secara turun temurun agar neka ngger le buru, ngger le tite, ngger lau
buru, ngger lau tite, yang secara sederhana bisa dibilang iman kita tidak
boleh bergerak mengikuti arah angin.
Tantangan terhadap iman pada zaman ini jauh lebih besar dan lebih kuat. Hanya
dengan iman yang teguh, kita berdiri kokoh di atas wadas iman akan Allah yang
senasib dan sepenanggungan dengan manusia. Dengan iman yang kokoh, pada
akhirnya kita mandiri dalam segala hal. Gereja lokal menjadi mandiri dan
terutama menjadi institusi yang independen, sehingga berperan sebagai penjaga
iman dan moral yang memberi landasan kokoh bagi masyarakat demokratis.
Natal dan Pilkada
Natal dan
Pilkada dikaitkan di sini sebagai sebuah lokus dari pergumulan kita dalam
menjalankan dan menghayati Natal. Sebagaimana dikatakan Direktur Pusat Pastoral
Keuskupan Ruteng, Romo Martin Chen Pr di ruang kerjanya, Kamis (17/12), Pilkada
harus dilihat sebagai sebuah pergumulan manusia. Seperti Natal adalah
pergumulan Allah dalam situasi manusia, maka Pilkada hanyalah sebagai salah
satu pergumulan dalam hidup bermasyarakat.
Oleh karena itu
dalam konteks perayaan Natal kita mesti melihat Pilkada sebagai sebuah
pergumulan iman. Tujuannya adalah agar politik Pilkada langsung yang sudah
berlangsung selama 10 tahun lebih menghasilkan pemimpin yang mendapatkan
kekuasaan dengan cara-cara yang lebih etis, lebih jujur, fair dan adil. Politik yang dihasilkan adalah politik yang lebih
rasional, terbuka, dan beradab, sehingga politik layak disebut sebagai medan
pengabdian dan panggilan untuk mengabdi.
Dengan demikian
Pilkada hendaknya menjadi pergumulan Natal kita kali ini agar dalam perjumpaan
dengan Allah kita melihat semua konflik
yang dilahirkan dari perbedaan pilihan politik harus dipandang sebagai bagian
yang sah dari demokrasi yang tidak perlu dibawa-bawa dalam relasi sosial kita
di masyarakat. Karena di sana kita menerima perbedaan sebagai hal yang lumrah.
Pilkada dan
seluruh prosesnya menjadi pergumulan Natal bertujuan agar Pilkada menjadi
kesempatan untuk membarui komitmen kita dalam bernegara, komitmen untuk
menjadikan politik sebagai salah satu jalan mengabdi, dan jalan politik
kekuasaan itu tidak dipenuhi cara-cara kotor, tetapi memuliakan hidup manusia.
Karena tujuan tidak boleh menghalalkan cara. Itulah prinsip dasar dalam teologi
moral Kristen. Tujuan harus diperoleh melalui cara-cara yang baik pula.
Paling penting
dari semua itu adalah Pilkada tidak boleh merusak kohesi sosial dalam
masyarakat. Bukahkah bantang cama reje
leleng adalah fatsun budaya politik Manggarai yang sangat elegan dan
bermartabat. Bantang cama reje leleng
adalah modal sosial masyarakat Manggarai, yang ikut berkontribusi memajukan
Manggarai saat ini. Modal sosial seperti ini tidak boleh dirusakkan oleh
politik, yang hanya merupakan salah satu dari aspek kehidupan bersama kita.
Solidaritas sosial adalah buah dari perayaan
Natal karena bersumber dari solidaritas Allah terhadap kehidupan manusia. Hal
ini penting dikemukakan karena sudah banyak contoh bahwa proses politik mulai
dari Pilkada hingga Pilkades, perbedaan pilihan politik telah merusak kohesi
sosial dan hal ini akan merusak masyarakat Manggarai sendiri dari dalam.
Rakyat
Manggarai yang mendiami wilayah seluas 1.669,42 km² dan tersebsar di 11
Kecamatan, 17 Kelurahan dan 145 Desa
tidak boleh rusak hanya karena perbedaan pilihan politik. Penduduk Manggarai
yang per 31 Desember 2014 berjumlah 337.286 orang, dengan rincian laki -laki 168.049
orang dan perempuan 169.237 orang, hendaknya memandang perbedaan-perbedaan
dalam hal apa saja sebagai pelangi yang indah dalam kehidupan. Lebih dari itu,
jauh lebih penting, iman mempersatukan semuanya sehingga umat sehati sejiwa
membangun Gereja Manggarai yang solid, mandiri, dan solider.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar