Awal Januari 2016, Gereja Katolik Keuskupan Ruteng menggelar pertemuan pastoral yang melibatkan para pastor paroki, pemimpin lembaga dan pemimpin tarekat serta tokoh-tokoh awam untuk merumuskan bersama implementasi hasil Sinode III Keuskupan Ruteng yang telah berlangsung secara bertahap mulai 2013 hingga 2015. Dari berbagai proses dalam Sinode III Keuskupan Ruteng dan kira-kira setelah 100 tahun usia Gereja Katolik Manggarai, Gereja Katolik Keuskupan Ruteng merumuskan identitas dirinya sebagai “Persekutuan umat Allah yang beriman Solid, Mandiri dan Solider.
Tahun 2016 adalah tahun
pertama implementasi Sinode III dengan fokus pada tema liturgi yakni “Liturgi
adalah sumber kerahiman ilahi dan puncak kehidupan umat beriman.” Tema ini
sudah diuraikan dalam Surat Gembala Advent dan Natal Uskup Ruteng Mgr Hubert
Leteng.
“Iman yang solid, mandiri, dan solider ini ingin
kita wujudkan melalui aneka gerakan dan program pastoral dalam lingkaran 10 tahun. Dalam tahun pertama
2016, kita memusatkan diri pada liturgi. Sebab liturgi menurut Konsili Vatikan
II merupakan sumber sekaligus puncak kehidupan Gereja. Seluruh karya pastoral
Gereja terarah kepada persatuan mesra Allah dengan umat-Nya. Di lain pihak
perjumpaan dengan Allah dalam liturgi menjadi sumber kekuatan hidup umat Allah
sehingga “sehati-sejiwa dalam kasih” dan dapat mengamalkan kasih Allah dalam
hidup sehari-hari,” kata Uskup Hubert.
Tema liturgi ini
digabungkan dengan perayaan Tahun Yubileum Agung Kerahiman Ilahi yang diumumkan
Paus Fransiskus bagi Gereja Katolik universal dari tanggal 8 Desember 2015
hingga 20 November 2016. Pada tahun pertama (2016) implementasi hasil Sinode
III Keuskupan Ruteng dalam bidang liturgi dihubungkan dan dikaitkan dengan dua
hal mendasar yakni perwujudan nyata iman akan Allah yang berbelas kasih dan
murah hati serta penuh kerahiman dan liturgi yang berimplikasi sosial bahwa
ekaristi bukan hanya sekadar perjumpaan dengan Allah, tetapi bagaimana
perjumpaan dengan Allah itu menjadi sumber kekuatan untuk mentransformasi
kehidupan nyata sehari-hari. Ite missa
est yakni misa telah selesai, kita diutus adalah sebuah “perintah,
perutusan untuk terlibat aktif dalam menciptakan dunia dan bumi yang baru”,
perutusan untuk ikut ambil bagian dalam pembaruan kehidupan sosial.
Dua
Persoalan
Direktur Pusat Pastoral
Keuskupan Ruteng Romo Martin Chen Pr dalam input teologis pada pertemuan
pastoral post Natal awal Januari 2016 mengedepankan dua masalah mendasar
terkait liturgi Gereja selama ini.
Pertama,
sakramen sentris dan liturgi sentris yang berdampak pada pelayanan gereja hanya
bersifat ad intra bahwa pelayanan
sakramen dan ibadat pada hakikatnya hanya melayani umat sendiri tanpa berdampak
pada pembaruan kehidupan sosial. Menurut Romo Martin, Gereja harus keluar dari
“rutinitas monoton” liturgi sentris dan sakramen sentris.
“Liturgi saja tidaklah
cukup. Doa saja tidaklah menyelesaikan masalah dalam kehidupan. Hanya dengan
misa saja kita tidak dapat membangun Kerajaan Allah di dunia ini. Kita mesti
mengembangkan pelayanan pastoral yangf integral, yang meliputi pelbagai bidang
kehidupan Gereja termasuk pewartaan dan pelayanan sosial serta program pastoral
yang meneguhkan persekutuan hidup Gereja,” kata Romo Martin.
Kedua,
iman yang alienatif, iman yang terasing dari kehidupan nyata. Terjadi dikotomi
antara iman yang dirayakan dalam liturgi dan iman yang diwujudnyatakan dalam
kehidupan sehari-hari. Banyak umat begitu rajin dan saleh dalam beribadat dan
berdoa, tetapi menjadi orang yang sama sekali berbeda dan menabrak berbagai nilai kristiani dan
etika hidup bersama.
Untuk menjelaskan hubungan ekaristi dan kehidupan sehari-sehari, maka dicarilah pendasaran teologis. Input teologis ini penting untuk membantu merumuskan reksa pastoral yang holistik dan integral di mana liturgi sebagai perjumpaan dengan Allah memiliki relevansi dan berimplikasi sosial.
Seperti dikatakan Romo
Martin Chen, liturgi yang kita rayakan sungguh-sungguh berkaitan erat dengan
kehidupan konkret setiap hari. Dengan demikian liturgi pada hakikatnya selalu
berdampak sosial. Bahkan liturgi dan
kegiatan sosial merupakan dua sisi dari mata uang yang sama.
“Liturgi sebagai fokus program pastoral Sinode
III tahun pertama tidaklah kita mengerti sebagai seremoni, tetapi sebuah
peristiwa perjumpaan dengan Allah yang penuh belas kasih, yang menjadi dasar
dan sumber kekuatan dalam menyalurkan kerahiman ilahi kepada dunia. Di pihak
lain, semua kegiatan pastoral Gereja untuk menggarami dunia dengan nilai
keadilan, kebenaran, kejujuran dan perdamaian terarah kepada persatuan dengan
Allah, kepada liturgi sebagai mahkota dan puncaknya,” kata Romo Martin.
Hubungan antara ekaristi
dan kehidupan sehari-hari dijelaskan dengan baik dalam input teologis Romo
Emanuel Martasudjita, Ketua Fakultas Teologi Kepausan Wedabhakti dan Dekan
Fakultas Teologi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
“Seluruh sejarah umat
manusia menjadi sejarah keselamatan Allah justru karena sejarah manusia ini
menjadi medan pemberian diri Allah. Dalam pengertian inilah, paham dualisme
mengenai pemisahan antara hidup dengan Allah dan hidup sehari-hari ditolak.
Kehidupan sehari-hari selalu ditopang dan dimungkinkan oleh pemberian diri
Allah atau pemberian diri Allah itu menjadi kehidupan sehari-hari kita,” kata
Romo Marto.
Oleh karena itu rancangan
reksa pastoral ke depan, menurut Romo Marto, adalah kegiatan pastoral yang
integral, yang bukan hanya memberikan pencerahan kepada umat tentang makna
terdalam liturgi sebagai perayaan misteri Paska, tetapi juga kehidupan
spiritualitas kristiani yang mencakup bidang-bidang kegiatan Gereja dan tetap berkontak atau dialog dengan budaya
lokal.
Romo Marto menggunakan
perumpamaan tentang pokok anggur untuk menggambarkan relevansi liturgi ekaristi
dengan kehidupan sehari-hari.
“Tinggallah di dalam Aku dan Aku di dalam kamu.
Seperti ranting tidak dapat berbuah dari dirinya sendiri, kalau ia tidak
tinggal pada pokok anggur, demikian juga kamu tidak berbuah jikalau kamu tidak
tinggal di dalam Aku. Akulah pokok anggur dan kamulah ranting-rantingnya.
Barangsiapa tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia, ia berbuah banyak sebab
di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa” (Yoh. 15:4-5).
Oleh karena itu, menurut
Romo Marto, setiap kegiatan kita termasuk karya kerasulan dan pelayanan sosial
hanyalah buah dari kesatuan kita dengan Tuhan.
Dengan memahami makna
sejati liturgi, menurut Romo Martin Chen, diharapkan persoalan dasar yang
ditemukan dalam Sinode III Keuskupan Ruteng tentang praktik iman yang alienatif
dan dikotomis dalam kehidupan Gereja partikular Keuskupan Ruteng perlahan-lahan
dapat diubah dan diperbarui.
Kerahiman
Ilahi
Sebagaimana disebutkan
sebelumnya, liturgi sebagai puncak kehidupan umat beriman, juga merupakan
sumber kerahiman ilahi. Tema kerahiman ilahi ini sudah disinggung dan
disebutkan dalam Surat Gembala Advent dan Natal 2015 Uskup Ruteng Mgr Hubert
Leteng.
“Liturgi bukanlah ritual
atau upacara belaka, tetapi sebuah peristiwa perjumpaan dengan Allah yang penuh
belas kasih. Pengalaman akan cinta Allah inilah yang menjadi dasar dan sumber
kekuatan umat beriman dalam menyalurkan kerahiman ilahi kepada dunia. Di lain
pihak persatuan dengan Allah yang dirayakan dalam liturgi merupakan mahkota dan
puncak dari seluruh kehidupan umat beriman dalam pergulatan hidup sehari-hari
untuk membangun masyarakat dan dunia yang lebih adil, solider dan damai,” kata
Uskup.
Uskup Hubert mengatakan,
begitu banyak kisah dalam Injil mengenai belas kasih ilahi yang menjiwai
seluruh hidup dan pelayanan Yesus. Yesus menaruh belas kasihan kepada orang
yang letih, terlantar dan sesat (Mat. 9:36), menyembuhkan orang sakit (Mat
14;14), memberi makan orang banyak yang kelaparan (Mat. 15:37), membangkitkan
putra tunggal seorang janda dari Nain (Luk 7:15), perumpamaan domba yang
hilang, anak yang hilang, dan dirham yang hilang. Kisah-kisah ini
“mengungkapkan kerahiman Allah yang melampaui dosa manusia sekaligus
menampilkan wajah Allah yang penuh sukacita ketika Dia memberikan pengampunan”.
Dalam rekoleksi pembukaan
pertemuan pastoral, Romo Emanuel Martasudjita membahas mengenai Allah yang
maharahim, Allah yang berbelas kasih dan implikasinya pada reksa pastoral
Gereja. Baik dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, Allah digambarkan
sebagai Allah yang rahim, murah hati, penuh kasih sayang, penuh belas kasih dan
setia. Kata hesed dalam Kitab Suci
menunjukkan bahwa Allah itu setia, belas kasih, bermurah hati. Cerita dalam
teks Lukas 15 menggambarkan Allah yang penuh belas kasih, penuh kerahiman dan
bermurah hati.
Implikasi dari iman akan
Allah yang penuh kasih dan bermurah hati adalah reksa pastoral yang melampaui
hukum dan aturan yang barangkali tidak membebaskan orang. “Kita perlu bertanya,
apakah segala peraturan dan kesepakatan-kesepakatan di lingkup pastoral
keuskupan dan paroki-paroki kita memang membantu orang-orang untuk lebih
memperoleh keselamatan hidup atau justru membelenggu dan merintangi mereka?”
kata Romo Marto.
Gereja
yang berempati
Gereja Katolik Keuskupan
Ruteng sebagaimana dirumuskan Sinode III
Keuskupan Ruteng dalam arah (visi) dasarnya adalah “Persekutuan umat Allah”.
Rumusan ini menunjukkan bahwa Gereja Keuskupan Ruteng adalah seluruh umat
Katolik baik tertahbis maupun terbaptis.
“Kita menyadari bahwa
dengan sakramen baptis, kita semua mengambil bagian dalam tritugas Kristus:
imam, nabi, dan raja dan lima tugas Gereja: liturgi, persekutuan (koinonia, communio), pewartaan (kerygma)
dan kesaksian (martyria). Semua tugas
ini harus mendapat perhatian secara bersama, seimbang dan harmonis. Inilah
pastoral integral dan holistik,” bunyi pernyataan akhir pertemuan pastoral post
Natal Keuskupan Ruteng.
Iman akan Allah yang
maharahim dan penuh belas kasih itu tentu saja mewajibkan umat Katolik
Keuskupan Ruteng untuk menyalurkan kerahiman Allah itu. “Kerahiman harusnya
juga menjadi roh dan gerakan bersama dalam mengimplementasikan hasil Sinode III
Keuskupan Ruteng dalam sepuluh tahun ke depan, khususnya pada tahun 2016 ini
sebagai tahun pertama yang dicanangkan sebagai tahun liturgi. Di sini kerahiman
ilahi harus menjiwai semua pelayan pastoral dan reksa/program pastoral dalam
tahun liturgi ini,” bunyi pernyataan akhir pertemuan pastoral Keuskupan Ruteng.
Kepada siapa kerahiman
Allah ini disalurkan oleh Gereja Katolik Keuskupan Ruteng sebagai “persekutuan
umat Allah yang beriman solid, mandiri, dan solider?”
“Pesan gembira Injil
tentang kerahiman ilahi ini perlu kita kumandangkan dewasa ini terlebih-lebih
dalam kerapuhan hidup kita manusia yang penuh dosa, dan dalam situasi dunia
yang masih dilanda oleh racun kebencian, kekejaman, dan kekerasan,” kata Uskup
Hubert dalam Surat Gembala Advent dan Natal 2015.
Kerahiman Ilahi ini, kata
Uskup Hubert, adalah anugerah Allah yang diberikan dengan cuma-cuma. “Oleh
sebab itu apa yang kita terima secara gratis, hendaknya dapat pula kita
bagi-bagikan dengan murah hati kepada sesama khususnya yang sakit, menderita
dan berkekurangan. Kita juga diajak dalam tahun Yubileum ini untuk melakukan
kegiatan-kegiatan belas kasih seperti mengunjungi orang sakit, membantu yang
miskin dan menderita, membela korban ketidakadilan, dan memperjuangkan
kelestarian alam dan keutuhan ciptaan,” kata Uskup Hubert.
Pilihan kita untuk
mewujudkan iman akan Allah yang murah hati dan berbelas kasih ini adalah dengan
mengutamakan orang-orang miskin. “Memihak orang miskin merupakan suatu
kewajaran dari seluruh hidup dan misi Gereja yang berbelas kasih dan bermurah
hati,” kata Romo Marto.
Adalah pilihan tepat jika
Keuskupan Ruteng memilih tema liturgi sebagai tahun pertama implementasi hasil
Sinode III. Masalah kita memang terletak di sini bahwa perayaan liturgis kita
meriah, tetapi belum maksimal berdampak pada pembaruan ruang publik kita, belum
mampu mengubah dan membarui kultur politik kita dan belum mampu mendorong aktivitas
ekonomi yang berkeadilan, dan belum sepenuhnya menjiwai politik pemerintahan
kita.
Tema liturgi dan kerahiman
ilahi ini mudah-mudahan bisa menggugah dan mendorong “persekutan umat Allah”
yang dinamakan Gereja Katolik Keuskupan Ruteng, menjadi Gereja Katolik yang
berempati dengan situasi manusia zaman ini. Persekutuan umat Allah yang tanggap
dengan masalah sosial di sekitarnya, persekutuan umat Allah yang “menangis
dengan orang yang menangis dan tertawa dengan orang yang tertawa”. Gereja Katolik yang solider dengan umatnya,
pemerintah yang solider dengan rakyatnya, dan ruang publik yang mencintai
kehidupan, mencintai budaya damai dan berkeadilan. Pendek kata, implementasi
tahun pertama Sinode III Keuskupan Ruteng menghasilkan Gereja yang berempati.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar