USKUP Ruteng Mgr Hubert Leteng merasa
prihatin dengan masalah pertambangan di Manggarai raya karena telah menimbulkan
konflik di kalangan masyarakat. Dalam masalah tambang itu pula, masyarakat
petani khususnya dalam kasus Tambang di Tumbak di wilayah bagian utara
Kabupaten Manggarai Timur terpaksa
berhadapan dengan aparat kepolisian. Oleh karena itu Uskup Hubert mendesak
pemerintah memikirkan secara cermat kebijakan pertambangan. Bahkan Uskup
mendesak para bupati mencabut semua izin usaha pertambangan (IUP) (Flores Pos,
20 September 2014).
Reformasi politik di Indonesia setelah
Orde Baru yang dicirikan oleh desentralisasi kekuasaan ke daerah ternyata tidak mengubah apa-apa
dalam hal paradigma pembangunan kita. Desentralisasi kekuasaan dan kewenangan
pemerintah yang diamanatkan oleh Reformasi sejatinya adalah berubahnya paradigma
pembangunan. Paradigma tidak lain adalah kerangka berpikir kita. Kita
seharusnya mengubah kerangka berpikir kita bahwa otonomi bukan saja dalam hal
pengambilan kebijakan, tetapi otonomi paling utama adalah otonomi manusia.
Otonomi manusia tidak lain adalah seluruh paradigma pembangunan itu mesti
difokuskan pada perkembangan pribadi manusia yang utuh menyeluruh. Tidak boleh
ada manusia yang direndahkan martabatnya dalam seluruh proses pembangunan itu.
Dengan demikian pembangunan itu harus dapat menjadi peningkatan harkat dan
martabat manusia. Pembangunan harus sungguh memperhatikan hak-hak asasi
manusia, menjamin kebebasannya untuk mencapai kepenuhan dirinya.
Praktik kekuasaan yang terjadi selama
Reformasi saat ini justru seringkali mengabaikan hak-hak asasi manusia,
merendahkan martabat manusia, dan mencegah pemenuhan pencapaian kesejahteraan
yang tidak merendahkan manusia. Akar dari semua ini adalah praktik kekuasaan
yang disalahgunakan, yang diakibatkan oleh dikeluarkannya dimensi “kerohanian”
dari politik itu sendiri. Politik yang dipraktikkan seolah-olah terlepas dari
prinsip-prinsip moral keagamaan yang kita anuti. Dimensi kerohanian dari
politik itu berakar di dalam moral keagamaan. Oleh karena itu seluruh praktik
politik kekuasaan kita dikembalikan ke dalam kerangka politik yang benar yakni
ditempatkannya kembali dimensi kerohanian sebagai inti dasar dari prakatik
politik kita. Kita membutuhkan revolusi paradigmatik dari praktik politik
kekuasaan kita di Flores dan Lembata dan dikembalikanya dimensi “kerohanian” ke
dalam poltik kita.
Bentara, Flores Pos, 22-9-2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar