Oleh Frans Obon
Direktur Formappi Jakarta Sebastian
Salang dalam konferensi persnya bersama
wartawan di Ruteng menegaskan bahwa Manggarai raya bukan tempatnya tambang.
Alasannya karena dampak negatif pertambangan sangat besar. Menurut dia, tambang
di manapun tidak memberikan keuntungan bagi masyarakat sekitar, alam dan
lingkungan. Yang untung adalah perusahaan dan penguasa secara personal. Publik
hanya mendapatkan dampak negatifnya yakni alam yang rusak, air yang kering,
kesehatan masyarakat – terutama kehilangan lahan pertanian. Dia bilang tidak ada bukti tambang mensejahterakan
rakyat (Flores Pos, 19 September
2014).
Tambang, menurut Sebastian Salang,
bisa dihentikan karena kepala daerah memiliki otoritas untuk melakukannya.
Aturan memungkinkan hal itu. Namun para pemimpin di daerah tidak berani
menghentikan dengan alasan undang-undang. Undang-undang bukanlah menjadi alasan
utama melainkan karena para pemimpin itu telah menerima sesuatu (persekot)
sebelumnya.
Sesungguhnya juga pernyataan dan asumsi
seperti ini bukan pula hal baru bagi telinga orang Flores dan Lembata. Rakyat
Flores dan Lembata sudah sering mengajukan pertanyaan ini: mengapa para
pemimpin kita di Flores dan Lembata begitu ngotot dengan tambang, ada apa?
Rakyat bertanya demikian karena dari pengalaman di banyak tempat dan di Flores
sendiri, tambang tidak memberikan kesejahteraan kepada rakyat. Namun tampaknya
ketidaktahuan, kekurangan pengetahuan dan lemahnya solidaritas sosial di Flores
dan Lembata dimanfaatkan oleh para pemimpin kita untuk tetap nekat maju dengan
memberikan izin usaha pertambangan. Karena di hadapan rakyat yang lemah, yang
masih kental sikap primordialnya, yang pendek ingatannya, elite pemimpin kita
tidak peduli. Orang boleh mengeritik, boleh pontang panting berdiri di sisi
mereka yang terancam oleh tambang, seorang pemimpin bisa berdiri tegak mukanya
dan terus meraih kekuasaan dengan mudah.
Padahal pemimpin pada hakikatnya adalah
pelindung rakyat. Filosofi orang Manggarai, misalnya, menegaskan bahwa tugas
pemimpin adalah memberi arah yang benar (titong agu palong), menciptakan
kesadaran baru di tengah masyarakat atau empowerment (toing) dan membangun
kesejahteraan (teing) yakni kesejahteraan bersama (bonum commune). Dengan
demikian, seorang pemimpin tidak akan rela mengorbankan rakyatnya demi
kesejahteraan yang dia bayangkan sendiri.
Bingkai dari seluruh kesejahteraan rakyat yang hendak dibangun oleh
seorang pemimpin adalah kalkulasi nilai dan iman. Kalkulasi nilai itulah yang
melindungi pemimpin kita agar tidak mengorbankan rakyatnya sendiri. Bingkai
imanlah yang membuatnya selalu memandang rakyat sebagai kawanan yang selalu
dijaganya. Dia bertindak sebagai gembala setia, yang membawa rakyatnya menuju
padang hijau kesejahteraan.
Lalu, mengapa kita terantuk pada
persoalan yang sama tiap kali. Salah satunya disumbangkan oleh kenyataan bahwa
seleksi pemimpin kita di wilayah ini berjalan tanpa tema. Pilkada kita tidak
punya tema yang jelas. Kita pilih pemimpin kita karena dia orang kita, dia
menguntungkan kita secara ekonomi, dia telah memberikan kita pekerjaan, dan dan
lain-lain kepentingan. Oleh karena itu tiap kali kita “seperti pengemis” untuk
meminta-minta “belas kasihan” dari para pemimpin kita agar dengan kemurahannya,
dia mendengarkan kita. Sepanjang Pilkada berjalan tanpa tema, kita akan terus
begini.
Bentara Flores Pos, 20-9-2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar