TAMPAKNYA masih sangat relevan jika kita berbicara
mengenai tema solidaritas sosial dalam pekan-pekan terakhir ini pada saat
masyarakat Manggarai Timur berhadapan dengan masalah tambang. Kita menyebut
masalah tambang di Tumbak khususnya dan di Manggarai Timur umumnya lantaran
karena masalah tambang di wilayah itu cukup panas dan santer belakangan ini
serta mendapatkan perhatian publik termasuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
(Komnas HAM) Republik Indonesia.
Dalam sepuluh tahun terakhir memang
masyarakat Flores dan Lembata bergulat dengan masalah tambang. Oleh karena itu
masalah tambang bukanlah spesifik masalah Manggarai Timur. Kendati persoalan
tambang sudah lama mendera masyarakat kita, tapi seringkali kita memang tidak
pernah memberikan perhatian lebih serius untuk menyikapi dan menanggapi gejolak di kalangan para petani kita di
pedesaan terkait masalah tambang ini. Oleh karena itu tidaklah heran kita akan
terus mengulangi masalah yang sama dan terantuk pada persoalan yang sama dan
jatuh dalam keteledoran yang sama.
Masalah tambang terkait dengan persoalan
masyarakat pedesaan, masyarakat petani kita yang belum memahami persoalan
tambang dan dampaknya serta masih belum paham benar mengenai kontrak
pertambangan dan dampaknya setelah persetujuan diberikan. Mereka belum paham
benar bahwa sekali mereka telah
memberikan persetujuan dan perusahaan tambang mendapatkan izin legal
pemerintah, maka pada saat itu hukum akan berbicara dan dampaknya para petani
kita menjadi orang-orang yang kalah di hadapan hukum jika mereka menarik
kembali persetujuan yang telah diberikan atau menghalang-halangi operasi
perusahaan. Persetujuan untuk menyerahkan tanah kepada investor tambang atau
investor apapun yang datang kemudian bisa saja motifnya bermacam-macam. Motif
paling jelas adalah para petani kita tergiur dengan uang tunai yang cukup besar
jumlahnya tapi menyadari dampaknya belakangan.
Dalam menghadapi masalah seperti,
salah satu cara yang perlu dikembangkan adalah membangun sikap solidaritas
sosial. Solidaritas sosial dalam pandangan Kristiani adalah salah satu kriteria
etis dalam mengusahakan pembangunan bagi kesejahteraan bersama. Dalam konteks
solidaritas sosial seperti ini, protes, kritikan, dan unjuk rasa haruslah
dipandang dalam perspektif saling mengingatkan agar dalam seluruh proses
membangun kesejahteraan bersama itu tidak boleh ada yang dikorbankan, tidak
boleh ada yang dirugikan, dan tidak boleh ada yang menjadi tumbal dari
pembangunan itu. Solidaritas sosial menuntut adanya kesediaan untuk saling mendengarkan, saling
terbuka untuk menerima masukan.
Solidaritas sosial itu mesti pula
dibangun di dalam birokrasi kita. Aparat birokrasi kita bukanlah orang-orang
yang tidak pernah mengenal situasi pedesaan kita. Mereka lahir di sana dan
berasal dari sana, meskipun dalam kenyataannya mereka seringkali teralienasi
dari situasi masyarakatnya sendiri. Sebagai orang yang terdidik (educated), mereka memiliki tanggung
jawab untuk melindungi kepentingan para petani di wilayah ini. Mereka memiliki
kewajiban moral untuk mengingatkan bahaya yang timbul dan risiko-risiko dari
pilihan-pilihan yang ditawarkan kepada para petani kita. Solidaritas sosial itu
bukanlah hal asing dalam masyarakat kita. Solidaritas sosial itu adalah
kearifan lokal kita, modal sosial (social capital) yang maha dahsyat dalam
membangun kesejahteraan bersama. Semangat solidaritas sosial inilah yang harus
kita hidupkan, sebab dengan ini kita saling mengingatkan satu sama lain
mengenai risiko-risiko dari tawaran dan pilihan yang kita buat.
Bentara, Flores Pos ,
25-9-2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar