Oleh
Frans Obon
Bupati
Manggarai Anthony Bagul Dagur dalam pidato pelantikannya 24 Februari 2000 mengatakan bahwa pemerintah
daerah memerlukan pendekatan sosial budaya dalam penyelesaian masalah di
Manggarai. Penekanan pada pendekatan
sosial budaya itu memberikan kita harapan dihidupkannya kembali berbagai aktivitas
budaya sebagai ekspresi jati diri orang Manggarai.
Paling
tidak juga, katakanlah tanpa ajakan ini pun, perubahan sosial budaya yang
terjadi pada masyarakat Manggarai saat ini minimal mampu mendorong sebuah
diskusi yang intens untuk menelaah berbagai soal perubahan sosial yang
ada. Atau minimal juga upaya itu
memberikan harapan baru untuk apa yang dikatakan dalam puisi Mazmur Uma Rana
dari John Dami Mukese, mengajak masyarakat Manggarai untuk menyadarkan kembali
kuni agu kalo (jati dirinya). Mengajak masyarakat Manggarai menenum kembali
kisah-kisah kehidupan yang dinyanyikan dalam sanda dengan gerak tari melingkar
perlambang kesatuan dan persatuan dengan irama kaki yang seragam yang memuat
falsafah muku ca puu neka woleng curup, teu ca ambo neka woleng jaong
(jangkong), syair-syair indah dalam mbata dan gita cinta dalam danding yang
dilantunkan pada waktu malam bersama gadis-gadisnya yang berkulit kuning
langsat, gerakan-gerakan mistik religius dalam raga sae ketika acara paki kaba
(potong kerbau) atau paki jarang bolong (kuda hitam) di kampung-kampung di
Manggarai yang syarat dengan gerakan spiritual berpadu estetika indah dan sikap
ksatria yang diperagakan dalam caci bercirikan sikap sportif.
Mbata,
sanda, caci dan raga sae sebagai ekspresi simbolik dari struktur budaya dan
kehidupan masyarakat Manggarai memang kian merosot. Semangat gotong royong,
misalnya yang cukup tinggi, semangat bantang cama reje leleng dan falsafah muku
ca puu dan teu ca ambo neka woleng jaong, yang menurut beberapa pihak menjadi
kekuatan pembangunan di Manggarai, semakin jauh dari kehidupan masyarakat
Manggarai.
Perang
tanding sebagai jalan pintas penyelesaian masalah tanah di Manggarai
mengindikasikan adanya kemorosotan nilai dalam masyarakat. Solidaritas wau
(suku) dan golo (kampung) telah berubah ke bentuk yang paling brutal destruktif
untuk melakukan purak (perang total) ke kampung lain. Pergeseran lain dari
nilai-nilai budaya Manggarai adalah tanah-tanah yang telah diserahkan dengan
sukarela di masa lampau bagi kepentingan umum diambil dan diserobot kembali
oleh ata uwa weru (anak-anak muda), generasi tekur cai weru lawo cai bao.
Falsafah toe nganceng lait kolen iso (ludah yang sudah dibuang ke tanah tidak
dapat dijilat kembali) yang mengandung arti bahwa apa yang telah menjadi
kesepakatan bersama tidak akan pernah ditarik kembali entah tertulis ataupun
tidak sudah hilang.
Perubahan
deras dasawarsa 1970-an di Flores menjadikan masyarakat Manggarai diperkenalkan
dengan nilai baru yang dikategorikan oleh Margareta Mead sebagai tahap
ko-figuratif. Dengan demikian fase pasca-figuratif di mana peran orang tua
dalam pewarisan nilai-nilai menjadi berkurang dan diambil alih institusi
pendidikan. Seiring pula dengan derasnya pembangunan pada periode pertama Orde
Baru yang disertai dengan kebijakan kebudayaan yang sifatnya monolitik,
masyarakat Manggarai seakan memiliki waktu begitu sedikit untuk mengelola
perubahan dan semakin kehilangan pola ekspresi kebudayaannya.
Generasi
muda tidak lagi bisa mengungkapkan dirinya dalam simbol-simbol adat tradisi
lama. Kultur Manggarai sebagaimana kultur kecil lainnya terlindas dan tergilas
oleh pertemuan budaya global dan kultur dominan dalam proses pertarungan dan
pertemuan budaya. Di sinilah letak kekalahan tradisi di hadapan moderninasi
yang ditandai oleh rasionalitas. Dengan demikian kebudayaan sebagai jaringan
makna yang ditenun masyarakat sendiri melalui simbol-simbol mengalami proses
perubahan dan pergeseran dari adat istiadat ke budaya modern. Kegagapan terjadi
ketika budaya lokal tidak mampu menenun simbol-simbol budaya yang
mengeskpresikan secara baru jati diri dan hakikat masyarakat Manggarai.
Kegagapan dalam menemukan simbol-simbol baru dalam mengekspresikan diri
menjadikan masyarakat lokal tersungkur di depan modernitas itu sendiri.
Kemajuan
dan modernitas yang dicapai manusia memberikan kemudahan-kemudahan dan hidup
dirasa menjadi lebih enteng. Tetapi dari sudut budaya terdapat satu
kecenderungan yang luar biasa yang terjadi yakni adanya keseragaman gaya hidup.
Namun reaksi lain dari kosmopolitan gaya hidup itu adalah apa yang dikenal
dengan sebutan counter trend, suatu kecendrungan balik terhadap arus yang ada.
Orang bisa bertindak sebaliknya dengan cara yang lebih ekstrim. Reaksi terhadap
kecenderungan global itu bersifat ekstrim namun bisa juga terjadi secara
kreatif. Artinya orang bisa sangat anti terhadap budaya luar dan melahirkan
fundamentalisme budaya, tapi juga orang bisa meresponnya secara kreatif.
Dialektika
budaya seperti ini tidak saja terjadi pada konteks global dengan kebudayaan
nasional, tetapi juga akan terjadi pertarungan antarbudaya dalam satu negara,
yang kita namakan pertarungan antarbudaya dominan. Budaya Manggarai dapat saja
bertarung dengan budaya Jawa, budaya Padang. Jadi terdapat juga ketegangan
antarsub budaya dalam sebuah konteks negara bangsa (nation-state).
Kegagapan
itu memberikan risiko terhadap perilaku hidup. Sebagaimana yang dikatakan
Anthony Giddens dalam Third Way, yang menganalisis tentang risiko
kapitalisme-liberalisme pasar yang membuat sebagian besar manusia tidak berdaya
merasa dikalahkan. Modernitas dan kemajuan teknologi serta perubahan gaya hidup
membuat orang-orang yang tak mampu menghadapinya dengan wajah tersungkur
tergeletak di depan kemajuan itu sendiri. Keruwetan berawal dari sini, yang secara
kasar dapat dikatakan, meraka adalah orang-orang yang kalah dan frustrasi dalam
masyarakat modern. Pergeseran dari budaya agraris-tradisional ke modernitas
rasionalitas menjadikan masyarakat gagap menanggapinya, yang dalam bahasa
sosiologi disebut anomie. Anthony Giddens berupaya meyakinkan kembali
masyarakat bahwa sosiologi dan telaahan budaya tetap relevan pada masyarakat
modern saat ini.
Institusi Politik
Aspek
penting lainnya yang juga dianggap penting untuk menelaah konteks sosial
politik lokal di Manggarai adalah perubahan institusi politik. Akibat lain dari
perubahan sosial budaya adalah bergesernya politik kekuasaan tradisional ke
sektor politik kekuasaan modern. Institusi kepemimpinan demokratis tradisional
tua golo dan tua teno makin lemah kekuasaannya. Ketika Indonesia
memproklamirkan kemerdekaan maka secara otomatis terjadi pula perubahan dalam
institusi pengambilan keputusan politik, ekonomi, budaya dan keagamaan dalam
masyarakat kita.
Tua
golo di masa lampau memiliki kekuasaan besar dalam kampungnya sebagai unit
terkecil dalam struktur kekuasaan tradisional setelah gelarang, kraeng (adak).
Semua institusi ini makin lemah perannya oleh perkembangan sosial budaya dan
munculnya institusi baru politik kekuasaan setelah kemerdekaan. Tatanan
masyarakat yang berubah itu tak mampu menampung peran tua golo dan tua teno
selain hanya menjadi bagian dari narasi masa lampau (old traditions).
Ada
beberapa perubahan yang cukup signifikan di sini.
Pertama,
tatanan politik baru. Politik sebagai pembagian peran dan fungsi sudah bergeser
dari institusi tradisional agraris ke institusi modern. Apalagi setelah
berlakunya UU No. 18/1979 mengenai pemerintahan desa, peran institusi politik
tradisional hilang habis. Dalam konteks Manggarai, tua golo dan tua teno adalah unit terkecil dari
struktur kekuasaan dan pemerintahan tradisional masyarakat Manggarai. Keduanya
memiliki kekuasaan yang lengkap, yang menjalankan kekuasasan di dalam kampung
secara demokratis, yang bisa mengundang seluruh warga kampung untuk membahas
suatu pokok masalah yang dilangsungkan di rumah gendang. Gendangn one, lingkon
peang adalah simbol kesatuan hidup masyarakat Manggarai di mana gendang sebagai
representasi legitimasi kekuasaan dan lingko (kebun-kebun komunal) sebagai
sumber kehidupan ekonomi bagi masyarakat kampung.
Dari
segi sosio-religi kehidupan kampung terdapat empat pusat utama (1) compang
(mesbah) tempat berlangsung upacara-upacara adat, sebab tiang pokok kehidupan
religi kampung berpusat di compang dan tempat di mana compang didirikan
dilakukan atas petunjuk leluhur;(2) kebun-kebun komunal, yang pembagiannya
dilakukan oleh tua teno; (3) wae teku (mata air) sebagai sumber penghidupan – sebelum
melakukan upacara-upacara di kampung, dilakukan upacara di sumber mata air
tempat di mana seluruh warga kampung mengambil air; dan (4) kubur dari seluruh
warga kampung, yang melambangkan masih adanya relasi yang mesti terpelihara
dengan baik antara kampung dan nenek moyang.
Peristiwa
politik juga adalah peristiwa budaya. Kemerdekaan 17 Agustus 1945 telah pula
mengubah struktur politik kekuasaan di
mana bangunan dan struktur kekuasaan lama diganti dengan struktur dan bangunan
politik baru. Peran tua golo dan tua teno juga berubah. Kampung tidak lagi
menjadi pusat kekuasaan dominan dalam negara Indonesia merdeka itu, melainkan
diganti dengan kepala desa. Dengan demikian kekuasaan tua golo dan tua teno
menjadi lemah. Wilayah desa itu mencakup beberapa kampung. Kekuasaan kepala
desa ini tidak lagi diperoleh melalui warisan (ascribed status) sebagaimana
kekuasaan tua golo dan tua teno melainkan dipilih oleh rakyat dalam periode
tertentu. Umumnya orang yang terpilih menjadi kepala desa adalah orang yang dari
segi pendidikannya lebih baik dari kebanyakan orang di desa tersebut, sehingga
jabatan ini diperoleh melalui prestasi (achieved status). Dampak lanjutanya
adalah jika ada masalah di kampung, orang membawa masalah tersebut ke
pemerintah desa. Tua golo dan tua teno hanya berperan sebagai pelaku seremoni
adat, yang memang masih dipelihara dengan baik.
Tatanan
baru politik kekuasaan dalam atmosfer baru itu diwarnai oleh partisipasi dan
distribusi peran baru. Havclav Havel berkata benar bahwa kaum borjuis tidak
pernah peduli dengan perubahan dalam masyarakat karena sudah terbiasa dengan
hidup enak dan diatur. Dengan demikian alokasi peran politik tidak lagi
berdasarkan ascribed status melainkan achieved status.
Kedua,
sumber legitimasi kekuasaan dan politik juga sudah bergeser. Di masa lampau
sumber otoritas dan legitimasi politik bersifat sakral, transendental, dari
atas sebagai sesuatu yang terberi (given). Tidak perlu dipersoalkan lagi.
Sementara di dalam politik modern sumber otoritas dan legitimasinya adalah
konsensus, berasal dari rakyat lewat badan pemilihan, sesuatu yang imanen.
Seperti kata Samuel P Hutington bahwa modernisasi politik itu sumbernya adalah
rasionalisasi otoritas.
Ketiga,
partisipasi politik. Ciri lain dari masyarakat demokrasi modern adalah
partisipasi politik. Namun konsekuensi dari identitas baru itu adalah kekuasaan
berasal dari rakyat. Karena itu partisipasi politik adalah keterlibatan warga
negara dalam proses politik dan dalam proses pengambilan keputusan.
Persoalannya bagaimana tua golo dan tua teno mempengaruhi proses politik yang
ada? Dalam negara modern saluran aspirasi masyarakat diambil alih partai
politik. Sementara partai politik mengandalkan kecakapan dan kemampuan.
Apakah
kita perlu menangisi masa lampau? Apakah kita mesti kembali ke romantisme masa
lampau? Tentu saja tidak. Kalau tidak lalu bagaimana kita menyiasati dan
mengalihkan tradisi itu dari satu generasi ke generasi secara kreatif?
Gerakan
kebudayaan di manapun tidak pernah mencapai titik imbang, namun dialektika
kebudayaan selalu berlangsung di dalam dua ketegangan yakni gerakan sentripetal
(gerakan mempertahankan diri) dan gerakan sentrifugal (mengembangkan diri
keluar) yang nantinya akan bersentuhan dengan kebudayaan lain. Pertemuan dengan
kebudayaan lain itu membuat suatu kebudayaan mendapatkan suatu sintesa baru.
Dua ketegangan ini akan selalu ada selama kebudayaan itu ada.
Dalam
tataran lain sebagaimana dikatakan Selo Sumarjan bahwa kebudayaan selalu
bergerak dalam tiga tahap yakni integrasi, disintegrasi dan reintegrasi. Tiga
momentum perkembangan masyarakar menurut Peter L Berger yakni eksternalisasi,
objektivasi dan internaslisasi sebagai
sumber utama gerakan manusia yang tidak pernah selesai. Dalam alur pemikiran
demikian kebudayaan dilihat sebagai sebuah agenda daya cipta dan sebuah agenda
kreativitas manusia. Kebudayaan yang sehat akan selalu memberi ruang dan
kemungkinan untuk masuknya unsur-unsur perubahan dan perkembangan baru. Kita
tidak tidak bisa menghindari diri dari
gerakan perubahan melainkan ikut dalam
proses perubahan itu sebagai subjek yang ikut merencanakan dan melakukan
berbagai tindakan yang berperspektif ke depan.
Kreativitas
dalam konsep kebudayaan adalah rule governed productivity yakni kemampuan
menciptakan hasil baru dengan menggunakan satu pola yang sudah dikenal untuk
dimodifikasi dan rule changing productivity yang berarti sambil mencipta, orang
mengubah pola dengan mencari yang lebih bagus.
Lalu
bagaimana kita menghadapi perubahan sosial budaya dan perubahan institusi
politik itu? Bagaimana kita menata masa depan yang lebih baik?
Pertama,
kita perlu menghidupkan kembali pendidikan kesenian yang kreatif di
sekolah-sekolah dasar. Orang Manggarai sebagaimana umumnya orang-orang Flores
sangat musikal. Yang penting potensi musikal ini dioleh secara kreatif di
bangku sekolah dasar.
Kedua,
pemerintah daerah sebagai fasilitator membentuk dan merefungsi institusi adat
dengan memperhatikan sejarah masa lampau. Institusi adak ini bertindak sebagai
kelompok alternatif yang dapat memberikan masukan bagi kebijakan pemerintah dan
sebagai institusi penerusan nilai-nilai budaya. Jadi institusi adak ini bukan
sebagai lembaga politik tandingan melainkan kelompok alternatif yang memberi
kontribusi pada sejarah dan kebudayaan.
Ketiga,
pemerintah daerah menjadi sponsor pencetakan dan pendistribusian buku-buku
dongeng, cerita-cerita rakyat, dan studi-studi kebudayaan lokal dengan dana
bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
Paling
tidak langkah-langkah konkret dan sederhana ini dapat membantu masyarakat lokal
untuk menenun kembali budayanya sendiri dalam simbol-simbol ekspresi baru yang
merupakan hasil dari kreativitas yang berakar dalam budaya lokal, sehingga
budaya politik Manggarai juga bermartabat. Dengan demikian Manggarai adalah
sebuah manik (mutiara) yang indah tapi bukan manik tandang mai (bukan hanya
indah kalau dilihat dari jauh).
Flores Pos, 4 Mei 2000
Tidak ada komentar:
Posting Komentar