SELAMA
bekeja sebagai wartawan sejak 1994 pada Mingguan Dian, yang berbasis di Ende, Flores, sebuah daerah dengan jarak 1.650 kilometer
arah timur Jakarta, agama dan politik telah menjadi perhatian utama saya. Tentu
saja tidak berarti bidang-bidang lain dari segi kehidupan masyarakat Flores
tidak saya perhatikan.
Saya
ikut bergelut di lapangan meskipun sejak awal sebagian besar dari karier saya
terpusat di ruang Redaksi. Sebab telah menjadi tuntutan konkret dalam konteks
suratkabar lokal untuk berjibaku di segala lini dan di segala bidang.
Suratkabar lokal menuntut kita untuk menjadi orang yang serbabisa. Saya menulis
tajuk dan menulis opini di samping menulis feature dan berita.
Untuk
memahami politik saya membaca sekian banyak buku dan artikel tentang politik
sebab secara akademis latarbelakang pendidikan saya adalah filsafat dan agama
yang diselesaikan di Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero, Maumere, Flores.
Namun belajar filsafat dan agama memungkinkan saya memahami dengan lebih mudah
hubungan antara agama dan politik. Fokus dari seluruh telaahan saya dalam buku Agama Flores Politik Flores, antologi
agama dan politik ini tentu saja relasi antara agama dan politik di Flores,
sebuah daerah mayoritas Katolik di Indonesia.
Buku
antologi agama dan politik di Flores ini yang merupakan kumpulan opini-opini
saya di Harian Umum Flores Pos dan
makalah-makalah saya di berbagai kesempatan, boleh dikatakan sebagai ikhtisar
reflektif dari pengalaman dan interaksi saya dengan berbagai pihak dan dengan
berbagai macam peristiwa agama dan politik di Flores.
PENGALAMAN
politik Orde Baru telah membekas dan mendarah daging dalam kehidupan masyarakat
Indonesia, tidak terkecuali di Flores. Dengan demikian politik Orde Baru yang
monolitik telah membawa dampak serius bagi perkembangan demokrasi di Indonesia.
Kerdilnya pertumbuhan kekuatan alternatif di dalam masyarakat adalah salah satu
contoh dampak buruk dari sifat monolitik praktik politik Orde Baru. Agama yang
seharusnya tumbuh menjadi kekuatan alternatif terhadap praktik politik dan
pelaksanaan kekuasaan Orde Baru justru menjadi bagian dari kultur bisu
mayoritas rakyat. Agama tidak menjadi sumber inspirasi politik dan praktik
kekuasaan negara.
Ketika
kekuasaan Orde Baru berarkhir dan kita memasuki satu periode baru yang disebut
Reformasi, kita gamang di dalam praktik berdemokrasi. Demokrasi lebih bersifat
prosedural, bukan substansial. Oleh karena itu pula politik tidak diabdikan
bagi kepentingan umum, melainkan untuk kepentingan pribadi dan kelompok. Buku
ini membahas dinamika politik dan agama di sebuah daerah yang nun jauh dari
Jakarta dalam masa Reformasi politik di Indonesia. Dengan demikian pula buku
ini akan menjadi sebuah contoh tentang respon masyarakat lokal terhadap
perubahan politik di Indonesia.
Buku
ini tentu saja masih jauh dari sempurna. Kritik dan saran pasti diterima dengan
lapang hati. Karena kritik dan saran tersebut adalah awal dari sebuah diskursus
baru tentang hubungan agama dan politik dengan Flores sebagai sebuah konteks.
Ende,
12 Mei 2014
1 komentar:
Mantap Pak Frans
Posting Komentar