Oleh FRANS OBON
Salah satu keputusan penting Sinode Keuskupan Ruteng pada tahun 2014 adalah menolak pertambangan di Manggarai karena dinilai merusak keutuhan ciptaan. Dalam konferensi pers, Jumat (17/1/2014) Romo Dr Marthin Chen mengatakan, dari berbagai diskusi selama sinode, diputuskan bahwa semua aktivitas yang merusak lingkungan baik oleh masyarakat maupun oleh pertambangan ditolak. Semua pihak diminta ikut menjaga keutuhan ciptaan , termasuk pemerintah yang berwenang mengeluarkan izin pertambangan agar ikut serta menjaga keutuhan ciptaan (Flores Pos, 20 Januari 2014).
Uskup Ruteng Mgr
Hubert Leteng pada awal sinode menegaskan pentingnya umat Katolik Manggarai menjaga
keutuhan ciptaan dan menolak pembangunan yang merusak lingkungan hidup dengan
dalih meningkatkan pendapatan asli daerah. Menurut Uskup, tidaklah benar
kesejahteraan rakyat diwujudkan dengan merusak lingkungan dan hutan. Gereja
Katolik Manggarai berkomitmen untuk membangun kesadaran umat bahwa sumber daya
alam itu terbatas. Gereja punya hak dan tanggung jawab untuk membangun
kesadaran umat mengenai keterbatasan sumber daya alam dan kesadaran untuk
menghormati keutuhan ciptaan.
Gereja Katolik
Manggarai, sejak masalah tambang ini muncul, telah menjadikannya keprihatinan
pastoral. Uskup Hubert lewat kehadirannya dan misa ekologis yang dibuatnya di
lokasi-lokasi pertambangan sudah dengan
jelas menunjukkan sikap tegas menolak pertambangan. Uskup datang ke lokasi
pertambangan di Nangarawa, Manggarai Timur dan mengadakan misa ekologis, Minggu,
25 Juli 2010 (Flores Pos, 27 Juli
2010). Uskup mengunjungi lokasi pertambangan Serise dan mengadakan misa ekologis pada minggu pertama masa Adventus,
28 November 2010 (Flores Pos 30
November 2010). Namun Uskup gagal mencapai lokasi pertambangan di Batu Gosok,
Kamis 18 November 2010, karena ada onggokan tanah dan alat berat yang diparkir
di jalan menuju Batu Gosok (Flores Pos,
19 November 2010). Sebelum ke Batu Gosok, Uskup mengadakan misa ekologis di
Paroki Roh Kudus Labuan Bajo.
Hampir lima tahun
lebih masyarakat Flores dan Lembata dihadapkan dengan masalah pertambangan. Berbagai
pernyataan, analisis, dan demonstrasi dilakukan untuk menolak pertambangan.
Gereja Katolik Flores memainkan peranan penting dalam advokasi penolakan
pertambangan. Oleh karena itu sebagai konsekuensi logis yang mau tidak mau
harus diterima adalah kenyataan bahwa Gereja Katolik vis a vis berhadapan
dengan pemerintah yang menerbitkan izin pertambangan. Gereja Katolik (terutama hierarki
dan kelompok awam Katolik) berhadapan dengan pemimpin-pemimin pemerintahan
lokal di Flores dan Lembata, yang juga adalah orang-orang Katolik. Hal ini
adalah sebuah atmosfer baru di dalam kehidupan Gereja Katolik Flores, sekaligus
membongkar perspektif dan pemahaman umat Katolik Flores mengenai Gereja Katolik
itu sendiri.
Tidak perlu
dipahami lebih jauh sebenarnya. Sederhana saja. Duka dan kecemasan umat adalah
duka dan kecemasan Gereja Katolik. Kendati banyak umat belum menyadari
pentingnya masalah ini, Gereja Katolik
tetap harus menjalakan tugasnya untuk membimbing dan mengajar. Hasil survei
Keuskupan Ruteng sendiri membuktikan bahwa tingkat kepuasan terhadap masalah
ekologi, sosial politik dan ekonomi hanyalah 31 persen lebih.
Masalah kita
sebanarnya di sini yakni duka dan kecemasan yang dihadapi Gereja Katolik belum
menjadi duka dan kecemasan sebagian besar umat. Padahal, duka dan kecemasan itu
adalah duka dan kecemasan umat sendiri. Dalam usia 100 tahun kehadiran Gereja
Katolik di Manggarai, kita belum sepenuhnya merasakan apa yang dirasakan oleh
Gereja Katolik, yang seharusnya kita merasakan bersama apa yang dirasakan
Gereja Katolik (sentire cum ecclesiae).
Diangkatnya
masalah ini dalam Sinode Keuskupan Ruteng dan adanya keputusan menolak
pertambangan adalah energi baru untuk meningkatkan kesadaran masyarakat
Manggarai tentang pentingnya menjaga keutuhan ciptaan di mana lingkungan
merupakan salah satu dari pilar relasi segi tiga antara Tuhan, Manusia dan
Ciptaan lainnya
Bentara, 27 Januari 2014
Bentara, 27 Januari 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar