Seorang bidan memplester mulut seorang ibu karena berteriak saat melahirkan di rumah sakit umum di Maumere. Bayi laki-laki dari perempuan dari Koting ini meninggal. Bidan dan manajemen RS minta maaf. Keluarga sudah memaafkan bidan tersebut.
Oleh Frans Obon
Nyonya Natalia Nonce dan suaminya Robertus Rudison dari Dusun Wutik, Desa Koting, Kabupaten Sikka telah memaafkan bidan Siti Y Komaria dalam kasus isolasi dengan cara memflakban mulut Nyonya Nonce saat berteriak kesakitan ketika hendak partus di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) TC Hillers Maumere (Flores Pos edisi, 8 Juni 2011).
Pemberian maaf ini terjadi ketika bidan Siti Y Komaria dan Direktris RSUD Maumere dokter Imaculata Veronica Djelulut dan sejumlah pejabat penting lainnya dari rumah sakit tersebut mengunjungi keluarga Ny Nonce di Koting.
“Saya dari hati yang tulus menyampaikan permohonan maaf. Kami berjanji ini yang pertama dan terakhir,” kata Direktris RSUD Maumere dokter Ima.
Bidan Siti juga menyampaikan permohonan maaf. “Saya dari hati yang ikhlas menyampaikan maaf,” kata bidan Siti, sambil meneteskan air mata.
Dari segi hukum menurut Ketua Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) NTT Meridian Dewanta Dado, kasus ini bisa dibawa ke ranah hukum dengan tuduhan terjadi malpraktik. Masalah ini bisa dilaporkan secara pidana dan perdata.
Menurut dia, bila kasus-kasus malpraktik medis didiamkan atau tidak diajukan ke pengadilan maka tidak ada peningkatan pelayanan di rumah sakit TC Hillers Maumre.
Secara pidana tindakan ini dikategorikan dalam kasus tindakan tidak menyenangkan sebagaimana dimaksud dalam pasal 335 KUH Pidana. Kasus yang sama bisa dilaporkan secara perdata. Yang bertanggung jawab dalam kasus ini tidak hanya bidan, melainkan manajemen rumah sakit.
Pihak keluarga Nyonya Nonce dan suaminya memang telah memberikan maaf kepada pihak rumah sakit. Namun, untuk kebaikan publik dan perbaikan standar penangan pasien di rumah sakit itu sendiri, maka dua langkah ini perlu dilakukan oleh pihak rumah sakit. Dengan dua langkah ini, janji direktris rumah sakit bahwa ini yang pertama dan terakhir bisa terpenuhi.
Pertama, dalam kasus ini, anak dari pasangan ini meninggal dunia. Kejadian seperti ini bukan perkara sepele. Karena itu perlu dilakukan penyelidikan oleh pihak rumah sakit untuk menjawab pertanyaan: apakah memang ada kaitannya dengan kematian bayi itu dengan tindakan isolasi tersebut atau tidak. Dalam kasus ini perlu kejujuran dan sikap berani mengambil risiko oleh pihak rumah sakit. Di sini perlu keterusterangan kepada keluarga korban. Sebab keluarga punya hak untuk mengetahui (right to know) atas apa yang terjadi. Sebab hak untuk mengetahui adalah hak asasi. Inilah bentuk dari tanggung jawab rumah sakit atas kasus ini.
Kedua, pihak rumah sakit harus tetap memberikan sanksi sebagai bentuk punishment atas kelalaian dan atas salah tindak dalam penanganan pasien. Bukan saja terhadap bidan ini, melainkan kepada semua yang bertanggung jawab dalam rangkaian penanganan pasien di ruangan bersalin. Sanksi ini adalah juga sebuah bentuk pembelajaran untuk memperbaiki sikap dan tindakan dalam melayani pasien. Sanksi ini akan menjadi pelajaran bagi pelaku dan orang lain agar kasus-kasus seperti ini tidak terulang lagi.
Selain itu rumah sakit dapat mengambil hikmah untuk memperbaiki standar pelayanan dan standar penanganan pasien yang mengalami kesulitan seperti ini. Karena itu poin terpenting lain dari kasus ini adalah perlunya pembenahan manajemen rumah sakit dalam menangani pasien.
Sampai saat ini memang belum banyak pasien menggunakan haknya untuk meminta pertanggungjawaban rumah sakit. Tapi kelak, sejalan dengan meningkatnya kesadaran pasien mengenai pentingnya hak untuk mengetahui atas tindakan medik, tuntutan untuk akuntabilitas dari rumah sakit menjadi hal yang lumrah.
Bentara 9 Juni 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar