Uskup Ruteng Mgr Hubert Leteng minta pengurus Dewan Pastoral Paroki untuk tidak bertindak sewenang-wenang, otoriter, dan bersikap semena-mena. Kualifikasi ini perlu juga bagi pemimpin publik di Flores, terutama para pemimpin politik.
Oleh FRANS OBON
Uskup Ruteng Mgr Hubert Leteng meminta para pemimpin untuk tidak bersikap sewenang-wenang, bertindak kasar, atau bertindak menggunakan tangan besi. Pemimpin juga tidak boleh bertindak semena-mena menggunakan kekuasaannya untuk kepentingan diri, keluarga, dan kelompok (Flores Pos edisi 9 Juni 2011).
Meskipun konteks dari kriteria kepemimpinan yang disampaikan oleh Uskup Hubert adalah pelantikan anggota Dewan Pastoral Paroki (DPP), namun karakter kepemimpinan tersebut dapat juga dikenakan dalam konteks pengelolaan kehidupan publik di Flores.
Karena pernyataan itu disampaikan pada pelantikan anggota DPP Paroki Mombok, Keuskupan Ruteng, maka Uskup mengambil tokoh Yesus Kristus sebagai inspirasi utama bagi karakter kepemimpinan dalam Gereja. Namun mengingat iman harus diwujudnyatakan di dalam semua segi kehidupan – jika iman itu ingin berbuah – maka tepat pula karakter kepemimpinan yang disampaikan uskup mestinya juga menjadi inspirasi bagi praktik kepemimpinan di Flores.
Ajakan itu menjadi tepat momen dan tepat locusnya karena mayoritas pemimpin di Flores adalah orang-orang Kristen. Oleh karena itu sudah menjadi keharusan karakter kepemimpinan dari para pemimpin di Flores tidak boleh sewenang-wenang, tidak boleh bertindak otoriter, tidak mengutamakan diri, keluarga dan kelompok.
Yang patut mendapat perhatian serius – barangkali juga menjadi kriteria bagi rakyat untuk memilih pemimpin di Flores – adalah kriteria untuk tidak mementingkan diri, keluarga, kelompok dan golongan. Dengan kata lain, karakter kepemimpinan yang unggul di Flores adalah kepemimpinan yang mengutamakan kepentingan publik.
Telah menjadi praktik lazim di Flores dan juga di seluruh Indonesia, otonomi daerah telah dibajak oleh para pemimpinnya untuk kepentingan diri, keluarga, dan kelompok kepentingannya sendiri, ketimbang kepentingan rakyat umum. Dana yang digunakan untuk kepentingan publik yang besarnya hanya sekitar 40 persen – dibandingkan belanja pegawai 60 persen – tidak dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi rakyat, melainkan dibajak untuk kepentingan ekonomi dan politik diri dan kelompok. Karena itu tidaklah mengherankan, setiap lima tahun kita mengganti para pemimpin, tapi tidak banyak kemajuan yang kita peroleh.
Reformasi politik di Indonesia dengan pemberlakuan otonomi daerah pertama-tama tidak saja mendelegesaikan begitu banyak kewenangan ke daerah, tetapi tujuan utama dari reformasi politik di Indonesia adalah membangun proses demokratisasi di level akar rumput. Dengan pemilihan langsung oleh rakyat, diharapkan terjadi proses demokratisasi di tingkat lokal.
Namun tujuan ini gagal dicapai melalui mekanisme demokratis yang dilakukan seperti pemilukada. Karena itu juga pemimpin yang kita dapatkan melalui mekanisme demokratis seperti pemilukada bukanlah yang terbaik. Pemimpin pilihan rakyat itu banyak kali menggunakan kekuasaannya bukan untuk kepentingan umum, melainkan kepentingan diri dan kelompok yang dilatari oleh keinginan untuk kenyamanan hidup dan kenyamanan kepentingan politik ke depan.
Oleh sebab itu yang diperlihatkan kepada kita dari praktik kepemimpinan seperti ini adalah sebuah kontras. Para pemimpin kita dipilih melalui jalan demokratis, tetapi penggunaan kekuasaan itu sewenang-wenang. Sewenang-wenang tidak dalam pengertian penggunaan tangan besi dalam memerintah, tapi menyelewengkan kekuasaan itu dengan cara semena-mena untuk kepentingan diri dan kelompok kepentingan terutama untuk akumulasi modal demi kenyamanan dan kelanjutan kepentingan politik.
Bentara, edisi 10 Juni 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar