Oleh Frans Obon
Gereja Katolik
Manggarai telah mengambil langkah penting dengan memberi perhatian pada masalah para
pekerja migran dan masalah migrasi penduduk dari dan keluar Flores. Fokus utama
dari keprihatinan pastoral ini, sebagaimana diputuskan dalam Sinode Keuskupan
Ruteng 2014, adalah membangun sikap solider dengan para pekerja migran. Sikap
ini lahir, selain dari pemahaman mengenai hakikat Gereja Katolik yang memandang
dirinya sedang berziarah, tetapi juga lahir karena adanya kompleksitas masalah
sebagai dampak dari migrasi tenaga kerja ke luar Flores.
Sinode menyebutkan
bahwa banyak pria dan wanita dari Manggarai keluar dari Flores untuk mencari
pekerjaan. Keluarga, suami, istri dan anak-anak ditinggalkan. Peserta Sinode
sepakat dan berkomitmen menangani masalah ini bersama pemerintah dan
pihak-pihak lainnya. Gereja membangun sikap solider dengan pekerja migran dan menolong keluarga yang ditinggalkan (Flores Pos, 25 Januari 2014).
Masalah perantau yang
sekarang disebut dengan para migran di Flores dan Lembata sudah lama terjadi,
bahkan pada tahun 1970-an telah menjadi masalah serius. Ada banyak ekses yang
terjadi, terutama terkait dengan kehidupan keluarga, sel terkecil dari Gereja itu sendiri. Pada
awalnya hanya prialah yang merantau, terutama kaum muda, tetapi lama kelamaan
para pria yang telah berkeluarga juga merantau ke luar Flores, dengan tujuan utama
adalah Malaysia. Ekonomi adalah alasan dan motivasi utama dari perantauan ini.
Kondisi Flores dan Lembata yang miskin telah menyebabkan banyak kaum muda
meninggalkan desa-desa dan merantau ke tanah orang.
Sejalan dengan akses
dan mobilitas yang tinggi saat ini, bukan hanya pria yang merantau ke luar
Flores, tetapi juga kaum perempuan terutama gadis-gadis belia. Dengan tingkat
pendidikan yang rendah, yang sebagian besar tamat sekolah dasar dan sekolah
menengah pertama serta sebagian kecil tamat Sekolah Lanjutan Tingkat Atas
(SLTA), potensi terjadinya human trafficking
(perdagangan manusia) menjadi lebih besar.
Keprihatinan utama
kita sebenarnya adalah dampak buruknya pada keluarga. Sendi-sendi utama
kehidupan keluarga terancam. Kasus HIV/AIDS menjadi fonemena yang menakutkan. Di
Sikka, 17 bocah positif HIV/AIDS (Flores
Pos, 23 Januari 2014). Kalau kita menelusuri riwayat para penderita
HIV/AIDS di Flores dan Lembata, selalu terkait erat dengan perantauan
(migrasi). Jelas ini sangat membahayakan keluarga-keluarga kita dan generasi
mendatang. Penelantaran juga menjadi kasus yang paling banyak.
Masalah lain yang
juga sering muncul adalah praktik-praktik keagamaan. Para pekerja migran kita
terlibat dalam praktik eksorsisme, yang berlabel agama. Beberapa tahun lalu
kita dihadapkan dengan praktik-praktik keagamaan yang bertentangan dengan
ajaran Gereja Katolik. Pengalaman keagamaan seperti ini juga menjadi
keprihatinan kita.
Kita sudah lama
menghadapi masalah yang begini kompleks. Tetapi respon kita seringkali tidak
memadai. Kita tidak memiliki data yang akurat mengenai jumlah para pekerja
migran, yang sebenarnya begitu mudah dilakukan. Pemerintah terus berjanji
melakukan pendataan tetapi tidak pernah dilakukan. Reksa pastoral kita juga
tidak memadai untuk menangani masalah ini. Aksi-aksi Katolik untuk para pekerja
migran tidak terlihat. Stigmatisasi yang menyebut para istri yang ditinggalkan
para perantau sebagai “janda malasyia” adalah refleksi paling kuat mengenai minimnya
perhatian kita pada masalah ini. Program-program ekonomi pemerintah tidak
menyentuh langsung keluarga para migran. Mereka luput dari program ekonomi
pemerintah.
Kita memberi
apresiasi atas sikap positif Sinode Keuskupan Ruteng tahun 2014 yang mau memberi perhatian pada masalah migran. Tetapi
kita juga menuntut pemerintah agar dana-dana pembangunan haruslah digunakan
seefektif mungkin untuk peningkatan ekonomi masyarakat. Sebab akar utama dari
masalah ini adalah ekonomi.
Bentara, 28 Januari 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar