Sebanyak 15 Kepala Keluarga asal Sikka yang bertransmigrasi ke Kalimantan Barat kembali lagi ke Sikka. Karena janji lahan tidak terpenuhi dan lokasi masih dipatok pemilik tanah.
Oleh FRANS OBON
Sebanyak 15 kepala keluarga atau 125 jiwa yang ikut transmigrasi ke Kalimantan Barat dari Kabupaten Sikka kembali ke Sikka. Mereka berangkat Desember 2010 lalu, tetapi Juni mereka kembali ke Sikka dengan menumpang KM Dharma Kencana (Flores edisi 13 Juni 2011).
Adapun alasan mereka kembali adalah karena tidak sesuai dengan janji-janji yang mereka peroleh sebelum mereka berangkat. Di tempat transmigrasi itu, tidak ada sarana kesehatan, tidak ada sarana pendidikan, dan tanah 2 hektare yang dijanjikan dan lokasi untuk membangun rumah bermasalah. Ini karena pemilik tanah di lokasi transmigrasi mematok kembali lokasi transmigran.
Janji lahan dua hektare hanya dipenuhi seperempat dan itu hanya cukup untuk lokasi rumah dan pekarangan. Sangat tidak memungkinkan sebagai lokasi untuk usaha pertanian. Sudah begitu, lokasi itu dipatok lagi oleh pemilik tanah.
“Kami mengalami banyak kesulitan selama ada di sana. Kami kurang diperhatikan, ditelantarkan, dan tidak ada pengawasan langsung dari Dinas Sosnakertrans Sikka,” kata Maria Hekolin Lin, seorang peserta transmigrasi.
Secara literer, atau per definisi, transmigrasi adalah perpindahan penduduk dari suatu wilayah yang padat penduduknya ke area wilayah pulau lain yang penduduknya masih sedikit atau belum ada penduduknya sama sekali. Transmigrasi sebagai program nasional dibiayai oleh pemerintah. Para transmigran mendapatkan sebidang tanah, rumah sederhana dan sarana lain yang bisa menunjang hidup mereka.
Dalam konteks cerita transmigran asal Sikka tersebut, kita mendapatkan dua hal. Pertama, lemahnya koordinasi di tingkat pemerintah. Keluhan tidak adanya pengawasan oleh pemerintah sebagaimana disampaikan para transmigran menceritakan tentang peran yang lemah dari pemerintah. Program transmigrasi tersebut memang program pemerintah pusat yang dikelola pemerintah provinsi. Namun tidak berarti peran pemerintah kabupaten menjadi kecil. Pemerintah Kabupaten Sikka telah menangani dengan baik para transmigran yang kembali, tetapi alangkah lebih baik lagi bila penanganan ini dilakukan hingga di lokasi. Komitmen inilah yang hilang dalam pengiriman transmigran ke Kalimantan tersebut.
Kedua, perlawanan masyarakat lokal. Pematokan kembali lahan oleh pemilik tanah di lokasi menunjukkan bahwa masalah lokasi transmigrasi belum tuntas diselesaikan oleh pemerintah setempat. Kalau sejak awal hal ini diketahui, maka pemerintah Kabupaten Sikka mestinya tidak berani mengirim para transmigran ke Kalimantan.
Perlawanan terhadap program transmigrasi oleh penduduk lokal terutama dalam konteks otonomi daerah bermunculan, yang disebabkan oleh komposisi dan konstalasi politik setempat. Dalam kasus Kalimantan Barat (data Harian Equator, Jumat 9 Mei 2008) dalam periode 1965-2005, ada 121.619 KK atau 514.916 jiwa di Kalimantan Barat. Tahun 2006, masuk lagi 820 KK, tahun 2007 sebanyak 650 KK, tahun 2008 sebanyak 770 KK.
Gelombang transmigrasi ini berdampak pada komposisi penduduk setempat baik dalam birokrasi pemerintahan maupun terutama lagi berpengaruh pada konstalasi politik setempat. Dalam konteks pemilihan langsung, hal-hal ini berdampak pada konstalasi politik lokal. Sebagiannya kemudian melahirkan perlawanan lokal terhadap program nasional tersebut.
Dengan demikian, pemerintah kita dalam mengelola program transmigrasi harus pula cermat menanganinya. Arif dan bijaksana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar