05 Juli 2009

Sumpah Adat

Frans Obon


KOMUNITAS adat Lewo Pulo Tana Lema di Solor Barat, Flores Timur menggelar sumpah adat. Memeteraikan sumpah adat ini, mereka sembeli seekor babi. Kegiatan ini diprakarsai oleh pemerintah kecamatan. Tujuannya adalah mencegah pembakaran padang di pulau tersebut yang terjadi setiap tahun. Dalam kasus pembakaran hutan ini, petugas seringkali kesulitan karena mereka tidak tahu pelakunya. Karena itu dibuatlah sumpah adat agar masing-masing orang waspada tidak membakar hutan baik dengan cara sengaja maupun tidak sengaja.

Di balik tindakan ini ada asumsi dasar dari pemerintah bahwa sumpah adat akan dapat menghapus tindakan membakar padang. Karena orang tidak bisa menipu dirinya sendiri. Sekalipun perbuatannya tidak dilihat orang, tetapi dia tidak bisa menipu nenek moyangnya.

Dalam kasus ini tampaknya pemerintah menggunakan pendekatan budaya untuk melahirkan dan bertumbuhnya nilai-nilai menjaga kelestarian lingkungan hidup. Diasumsikan bahwa pendekatan budaya ini akan melahirkan efek jera karena masyarakat akan jauh lebih takut dengan sumpah adat daripada hukum positif. Kita mengandaikan bahwa masyarakat setempat memang sungguh meyakini nilai-nilai dari sumpah adat ini. Tetapi meskipun sumpah adat ini representasi dari kultur mereka, tetapi tetap saja dilihat sebagai sesuatu yang arbitrer. Sesuatu yang dipaksakan dari luar, bukan lahir dari kesadaran diri untuk menjaga lingkungan hidup. Artinya dia tidak berani membakar hutan karena takut dihukum nenek moyangnya.

Ketakutan pada bala bencana nenek moyang inilah yang mendorong masyarakat tidak merusak lingkungan hidupnya. Idealnya adalah tidak membakar hutan harus lahir dari kesadaran diri masyarakat. Mereka harus yakin bahwa tindakan membakar hutan akan merusak lingkungan hidup mereka.

Tetapi kita ingatkan saja, pemerintah kadang-kadang memanipulasi kultur untuk kepentingan mereka. Di daerah tandus seperti Lembata, misalnya, di satu sisi pemerintah mendorong masyarakat melestarikan lingkungan hidupnya. Miliaran dana Gerhan dikucurkan terus menerus dari pusat untuk mereboisasi lingkungan hidup, tetapi serentak pada satu sisi pemerintah justru mendorong eksplorasi tambang yang jelas-jelas merusak lingkungan hidup. Pemerintah berada di pihak investor. Demikian halnya di Manggarai Barat. Jika pemerintah terus memaksakan tambang, maka rakyat akan sukar percaya program pemerintah tentang pelestarian hutan dan lingkungan hidup serta kampanye wisata ramah lingkungan (eko-wisata).

Dengan demikian, kesannya pemerintah bisa memanipulasi budaya seturut kepentingannya, bukan terutama untuk mengembangkan nilai-nilai luhur dalam kultur masyarakat. Menjaga lingkungan hidup mesti lahir dari kesadaran diri dan pemerintah harus membantu dan mendorong masyarakat ke arah proses internalisasi nilai. Bukan sebaliknya melakukan sesuatu yang kontrapoduktif seperti tambang itu.

Flores Pos | Bentara |Lingkungan Hidup
| 4 Juli 2009 |

Tidak ada komentar: