19 Juli 2007

Pamor PDI Perjuangan Mulai Naik

Oleh FRANS OBON

Hasil survei dari Lingkaran Survei Indonesia (LSI) mengenai persepsi publik terhadap partai menunjukkan bahwa pamor PDI Perjuangan naik, menyalib Partai Golkar yang memenangkan Pemilu Legislatif 2004 dan Partai Demokrat, partai Presiden. Pada Pemilu 2004 lalu, Golkar memenangkan Pemilu Legislatif (Pemilu 1999 dimenangkan PDI Perjuangan), dan Pemilu Presiden dimenangkan Partai Demokrat.
Menurut Direktur LSI, Denny JA dari 1.200 responden, 22,6 persen memberi dukungan pada PDI Perjuangan, 16,5 persen mendukung Golkar, dan 16,3 persen mendukung Partai Demokrat. Sedangkan partai-partai lainnya berada di bawah tiga partai politik di atas, yakni PKS 5,6 persen, PKB 4,7 persen, PAN 3,4 persen, PBB 0,5 persen, PKPB 0,3 persen, PDS 0,2 persen.
Hasil survei ini menunjukkan bahwa performance PDI Perjuangan dalam pengolahan politik nasional mulai membaik. Setidaknya PDI Perjuangan telah belajar dari kekalahannya pada Pemilu 2004.
Pertanyaan terpentingnya adalah mengapa dalam kurun waktu lima tahun (1999-2004), perolehan suara PDI Perjuangan baik di Pemilu Legislatif maupun Pemilu Presiden menurun drastis. Jawabannya tidak lain karena politisi-politisi instan telah menggadaikan partai untuk kepentingan diri dan kelompoknya. Harapan publik agar PDI Perjuangan memberikan warna baru dalam politik nasional dan lokal tidak terpenuhi. Yang terjadi adalah konflik demi konflik. Politisi-politisinya bergerak melawan arus. Korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) misalnya telah menjadi alasan (raison d’etre) dari pemerintahan reformasi, sekaligus menjadi alasan runtuhnya keperkasaan pemerintahan Soeharto. Tetapi kita masih ingat kritikan Kwik Kian Gie bahwa partai terkorup adalah PDI Perjuangan.
Terlepas dari kekecewaan Kwik Kian Gie terhadap pimpinan teras partai dan sikap ceplas ceplosnya, kritikan tajamnya yang kontra dengan sikap Megawati yang kalem, tenang, kritikan ini ikut mempengaruhi persepsi masyarakat pemilih. Masyarakat melihat kritikan itu bukan saja sebagai ekspresi kekecewaan pribadi, melainkan riil konkret kritikan itu mengungkapkan kebenaran. Apalagi integritas dan kredibilitas Kwik Kian Gie juga menjadi jaminannya. Perilaku politik anggota parlemen dari PDI Perjuangan baik di tingkat nasional maupun di daerah-daerah kontras dengan semangat reformasi. Belakangan politisi PDI Perjuangan di tingkat nasional maupun teknokrat pendukung Megawati seakan menjadi target dari kampanye pemerintahan bersih SBY-Kalla.
Megawati sendiri telah melakukan pembersihan terhadap tokoh-tokoh partai melalui Kongres Bali. Sikap oposisi PDI Perjuangan dan tidak mau mengambil bagian dalam pemerintahan telah mendongkrak citra partai. Perilaku dan praktik politik di tingkat nasional dan lokal mulai diperbaiki. Kongres Bali yang mengukuhkan lagi Megawati menjadi Ketua Umum PDI Perjuangan berjalan tenang, jauh dari konflik perebutan kekuasaan di partai. Kongres Bali, kata para pengamat, yang berjalan tenang, jauh dari konflik internal telah mendongkrak citra PDI Perjuangan.
Partai Golkar sebagai pesaing utama mengencangkan ikat pinggangnya. Beberapa waktu lalu politisi-politisi senior Partai Golkar di Jakarta dibawa ke dalam sebuah forum. Ada Oetojo Oesman, Harmoko, Habibie, Akbar Tandjung, Murdiono. Ketua Umum Partai Golkar Yusuf Kalla menghadiri pertemuan ini. Kesimpulannya cuma satu, partai pendukung utama orde baru dan kekuasaan Soeharto ini melakukan konsolidasi, memperkuat barisan. Mereka mengatakan bahwa oposisi adalah sebuah kecelakaan. Artinya politik partai adalah merebut kekuasaan. Golkar dengan ini ingin kembali merebut dominasinya di parlemen dan eksekutif. Tekad ini dengan dukungan sumber daya baik dana maupun sumber daya manusianya adalah pengumuman “perang” total Golkar untuk Pemilu 2009.

Tebar Pesona
Kendati Megawati pada Kongres di Bali mengkritik politik tebar pesona, namun politik bagaimanapun terkait erat dengan persepsi publik. Di tengah situasi ekonomi yang stagnan, popularitas SBY masih tinggi. Ini artinya orang-orang dekatnya SBY terus menerus memberi citra positif pada kinerja presiden kendati angka pengangguran bertambah atau tidak ada kemajuan dalam mengurangi kemiskinan. Padahal ini yang dijanjikan presiden saat kampanye.
Dalam masyarakat yang melodramatik dan dengan tingkat melek politik yang rendah, pengukuran kinerja dengan angka-angka rasional hampir kurang mempengaruhi pencitraan politik. Dalam masa pemerintahan Megawati, terjadi perbaikan ekonomi yang signifikan. Kurs rupiah terhadap dolar menguat. Pertumbuhan ekonomi membaik. Tetapi pencapaian-pencapaian pemerintahan Megawati tidak terkomunikasikan dengan baik kepada masyarakat. Ini berarti orang-orang dekatnya ataupun pendukung-pendukung Megawati tidak berusaha memberi citra positif pada kinerja presiden. Ini bisa dimengerti karena perilaku dan praktik politik anggota partai baik di tingkat daerah maupun nasional kurang mendukung untuk memberikan citra positif pada kemajuan kinerja presiden.
Pemilihan langsung oleh rakyat dengan beragam kepentingan, pertarungan ide dan konsep yang disampaikan secara terbuka, pembentukan citra amat penting. Politisi-politisi PDI Perjuangan harus bisa belajar bahwa menjaga citra partai dan menghindari perilaku politik ugal-ugalan jauh lebih penting dan memberikan investasi jangka panjang dalam politik.
Dalam iklim keterbukaan politik, kemajuan dalam pencitraan partai dapat diukur. Survei LSI merupakan bagian dari kuantifikasi politik bahwa politik dapat diukur secara kuantitatif.

Pilkada
Partai politik didirikan sebagai wahana untuk mencapai kekuasaan politik. Dalam partai, partisipasi masyarakat dalam memilih pemimpin terlembaga. Sehingga partai politik harus dikelola sedemikian rupa agar dapat menangkap, mengolah, dan merumuskan aspirasi-aspirasi itu dalam program-program politik partai. Ini mengharuskan partai memiliki orang-orang yang kompeten untuk merumuskan kebijakan partai jika berada di puncak kekuasaan. Dengan demikian, partai-partai pada satu sisi berada dalam sebuah pertarungan ide-ide untuk memajukan masyarakat.
Tetapi faktor ini tidak kita temukan hampir pada semua partai. Yang ada dalam partai-partai kita adalah para politisi partai jago dalam menggalang massa. Mereka bisa memobilisasi massa, memberikan sumbangan-sumbangan, menyelenggarakan bazar-bazar politik. Hal ini dimungkinkan karena mereka memiliki uang. Tetapi partai sangat minim memiliki orang-orang yang punya keahlian dan kapasitas teknokrat. Karena hanya mengandalkan mobilisasi massa, maka politisi juga selalu berada dalam “kompetisi” merebut sumber daya dana untuk membiayai mobilisasi massa ini. Di sini berpeluang terjadinya praktik-praktik politik dagang sapi dan politik uang.
Fokus pada penggalangan massa adalah sebuah kegagalan partai politik. Hal ini bisa kita lihat dari pencalonan tokoh-tokoh publik yang menjadi figur di televisi. Dari satu sisi, pencalonan seperti ini merupakan kegagalan partai politik.
Pada tingkat lokal, hal-hal demikian juga terjadi. Tidak adanya terobosan-terobosan berarti dari pengelolaan pemerintahan lokal, mendorong para politisi di partai merasa diri bisa menjadi pemimpin. Bupati dan wakil bupati yang sedang memerintah misalnya, begitu-begitu saja kinerjanya. Kalau demikian, tiap orang merasa bisa. Nah, politisi partai menangkap hal ini dan menggunakan kekuasannya di partai sebagai jalan mulus menuju pencalonannya sebagai kandidat dalam pilkada.
Partai Golkar membuat terobosan baru dalam proses seleksi calon pemimpin dengan menggelar konvensi beberapa waktu lalu. Tetapi calon yang memenangkan konvensi menderita kekalahan karena rivalitas di dalam ruang konvensi dibawa keluar. Artinya peserta konvensi mengarahkan atau “membiarkan” massa konstituennya menyeberang ke pasangan lain. Ini artinya partai gagal meyakinkan dan membawa calon dan peserta konvensi dalam satu komitmen politik yang sama.
Nah, PDI Perjuangan dalam menentukan calonnya untuk berkompetisi di arena pilkada harus bisa mencermati fenomena-fenomena politik ini. Minimal figur-figur yang diusung haruslah orang yang memiliki kapasitas dan kemampuan teknokratis. Karena keberhasilannya mencerminkan dan mempertaruhkan citra partai. Untuk apa partai mencalonkan orang yang sudah tahu bahwa pencalonannya akan menghilangkan peluang partai merebut kekuasaan?
PDI Perjuangan harus bekerja all out dan terus menerus berjuang memberi citra positif pada partai dengan mengendalikan perilaku buruk dalam politik dan mendorong untuk menghormati tata krama politik yang baik, politik yang didasarkan pada moralitas.
Ada empat unsur yang memperlihatkan ciri politik kita sekarang yakni politik uang, lain kata lain perbuatan, mementingkan kelompok, dan munculnya politisi-politisi instan. Persepsi yang positif terhadap partai tergantung pada pemberian warna yang jelas dan keberanian menarik garis pisah dari ciri-ciri politik di atas. Citra positif bukan jatuh begitu saja dari langit, tetapi diciptakan. Jinglenya seperti bunyi sebuah iklan rokok: coba merah!

Dimuat di Flores Pos, 26 April 2007

Tidak ada komentar: