27 Februari 2008

Diskusi Sertifikasi Guru (3/habis)

Ada Lilin di Depan Terowong

Oleh FRANS OBON

KETIKA para guru hanya membayangkan yang sulit-sulit dari sertifikasi ini, rasanya mereka sedang berada di dalam sebuah terowong gelap dan tidak tahu lagi apakah ada jalan keluar atau tidak.

Diskusi ini pertama-tama mau mencari jalan keluar dan menemukan langkah-langkah konkret menolong para guru agar memenuhi standar yang ditetapkan pemerintah. Keresahan, kecemburuan, godaan atau apapun namanya dalam hal sertifikasi ini jika ditransformasikan secara cerdas akan membuahkan mutu guru dan mutu siswa.
Paling tidak, kita berhenti mengeluh dan mulai melakukan langkah positif kreatif untuk menjawabi tantangan ini. Flores Pos dalam kerja sama dengan Universitas Terbuka UPBJJ Kupang di Ende hendak membawa para guru dalam satu ruang diskusi agar mereka bisa menemukan jalan keluar dari masalah mereka sendiri. Mereka harus berusaha keras untuk menyikapi masalah ini.
Itu pula alasannya, mengapa media ini berusaha membawa para guru ke dalam sebuah ruang diskusi bersama organisasi para guru (PGRI), agar organisasi ini menjadi tempat para guru berjuang dan bergandengan tangan membahas dan mencari solusi dari masalah mereka sendiri.
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Ende Don Bosco Wangge memaparkan rencana strategis Dinas Pendidikan menyikapi sertifikasi guru ini. Namun jauh dari itu rencana strategis tidak saja hanya untuk memenuhi persyaratan sertifikasi, namun sebuah rencana besar untuk mendongkrak mutu pendidikan di kabupaten ini.
Dalam paparannya Don Bosco Wangge menyebutkan bahwa sertifikasi ini tujuannya adalah untuk menentukan kelayakan guru dalam melaksanakan tugas sebagai agen pembelajaran dan mewujudkan pendidikan nasional, meningkatkan proses dan mutu hasil pendidikan, meningkatkan mutu guru, dan meningkatkan profesionalisme guru. Manfatnya adalah melindungi profesi guru dari praktik-praktik yang tidak kompeten, yang dapat merusak citra guru, melindungi masyarakat dari praktik-praktik pendidikan yang tidak berkualitas dan profesional, dan meningkatkan kesejahteraan guru.
Don Wangge mengaku dinas pendidikan berkomtimen membantu para guru untuk memenuhi standar kompetensi sebagaimana dituntut dalam sertifikasi guru ini.
Data dinas menyebutkan jumlah guru sekarang sebanyak 5.441 orang, terdiri dari guru PNS 3.071 orang dan guru non-PNS 2.370 orang. Guru berijazah sarjana sebanyak 949 orang dan yang belum disertifikasi 690 orang dan yang sudah disertifikasi 259 orang, terdiri dari PNS 238 orang, dan non-PNS 21 orang. Sampai sekarang baru 39 orang yang lulus sertifikasi, sedangkan yang tidak lulus 149 orang, sehingga masih harus mengikuti pendidikan dan pelatihan lagi. Saat ini ada 71 orang yang sedang diberi penilaian.
Pada kesempatan itu Don Wangge juga memaparkan rencana strategis (Renstra) Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Ende. Menurut data dinas, masih ada 4.492 orang guru yang belum berijazah sarjana, dengan rincian SLTA 3.591 orang, Diploma Satu 120 orang, Diploma Dua 454 orang, dan Diploma Tiga 327 orang.
Melihat fakta ini, Don Wangge mengatakan, dalam Renstra Dinas pada tahun 2015 semua guru yang belum sarjana akan menjadi sarjana, sehingga Dinas berkomitmen mengusulkan peningkatan anggaran di sektor pendidikan untuk bisa mencapai tujuan ini. Karena itu sekarang pemerintah tidak lagi menerima tenaga guru yang belum bergelar sarjana. “Hal ini bisa tercapai kalau dinas didukung. Sebab dinas bukan penentu anggaran, melainkan pengguna anggaran,” katanya.
Menurut perkiraan dia, jika tidak ada penambahan guru maka 2035 sudah tidak ada guru lagi dan sekolah-sekolah ditutup. “Karenanya saya sering imbau kepada yayasan-yayasan untuk memberikan beasiswa kepada anak-anak yang mau jadi guru”.
Dinas sendiri, katanya, sedang mengirim orang mengambil strata dua (S2) dengan harapan bahwa kebutuhan kita akan guru terpenuhi. Anak-anak kita tidak perlu keluar dari Flores untuk sekolah guru. “Kita memperkuat Uniflor”.
Dalam diskusi ini Edelbertus Wara, seorang pengawas pendidikan mengusulkan agar guru yang dikirim mengikuti pendidikan S2 tidak menyimpang dari bidangnya. Don Wangge setuju dengan usulan ini.
Alternatif lain untuk membantu guru yang belum sarjana ini adalah mengikuti pendidikan di Univesitas Terbuka (UT). UT adalah perguruan tinggi negeri ke-45 di Indonesia yang diresmikan 4 September 1984 berdasarkan Keputusan Presiden RI No 41/1984.
Koordinator Universitas Terbuka UPBJJ Kupang di Ende Irama Pelaseke dalam pengantar diskusi mengutarakan kemudahan-kemudahan bagi guru-guru yang mau mengikuti pendidikan di Universitas Terbuka.
Irama menyebutkan enam keuntungan belajar di TU yakni tidak mengganggu tugas pokok, tidak perlu meninggalkan tempat kerja atau tempat tinggal, biaya dapat dijangkau mahasiswa, memberi beasiswa kepada mahasiswa yang berprestasi (IP tertinggi) pada setiap semester, registrasi dibuka pada setiap semester, dan menyiapkan tutorial/perkuliahan bagi mahasiswa yang membutuhkan.
Mendukung sertifikasi guru ini, kata Irama, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) UT membuka program sarjana pendidikan anak usia dini untuk lulusan SPG/SLTA dan D2 PGTK; Program Sarjana Pendidikan Sekolah Dasar; dan membuka Program Sarjana Pendidikan bidang studi S1 yakni Pendidikan Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, Kimia, Biologi, Fisika, Ekonomi Koperasi, dan Kewarganegaraan.
Ke depan, kata Irama, UT akan membentuk kelompok belajar mahasiswa di setiap lokasi kecamatan. Sekarang UT memiliki kelompok belajar mahasiswa di Detusoko, Ndona, Ndona Timur, Ende Selatan, Ende, Wewaria, Maukaro, Nangapanda, Wolojita, dan Kelimutu. UT juga menyiapkan buku dan modul yang disusun para ahli.
“Jika dikaitkan dengan persoalan yang kita bahas hari ini, Universitas Terbuka siap membantu para guru yang belum memiliki ijazah sarjana (S1). Ini merupakan peluang yang ditawarkan UT kepada para guru,” katanya.
Theresia Bete Parera, seorang guru dalam diskusi mengatakan, meski dibatasi usia namun dia mengikuti kuliah di Universitas Terbuka. Dia mendorong para guru yang belum berijazah Strata Satu untuk kuliah lagi sehingga memenuhi syarat berdasarkan kriteria sertifikasi.
Namun Theresia Dairo Bulu dari SDI Bhoanawa I mengeluh betapa beratnya beban guru jika harus merogoh kocek lagi. Karena mereka harus mengongkosi kuliah anak-anak mereka, sementara mereka sendiri harus ikut kuliah lagi. Karena itu dia menganjurkan Dinas ikut berjuang membantu para guru mendapatkan kredit lunak. Usulan ini tampaknya sulit. “Pinjamannya ke bank,” kata Don.
Namun intinya adalah para guru ingin mendapatkan keringanan dari pemerintah melalui beasiswa atau menyediakan dana bagi pendidikan lanjutan para guru, sehingga kuota sertifikasi yang ditentukan pemerintah pusat dapat terpenuhi. Memang diperlukan visi politik yang melihat jauh ke depan, sehingga paling tidak ada pendidikan menjadi salah satu prioritas dalam rencana pemerintah.
“Pendidikan menjadi salah satu prioritas dalam program pemerintah daerah, tapi tidak terlihat di dalam anggaran. Anggaran pendidikan tidak dinaikkan, malah dikurang. Idealnya setiap tahun anggaran pendidikan dinaikkan, bukan dikurangi,” kata Don Wangge.
Cara lain yang dapat membantu para guru memenuhi sertifikasi ini adalah memaksimalkan peran Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Amatus Peta, Ketua PGRI Kabupaten Ende menyanggupi keinginan ini. Bahkan pada saat itu dia membawa serta brosur syarat-syarat sertifikasi. Namun yang paling penting saat ini juga sudah terbentuk Forum Ilmiah bagi para guru sebagai wadah olah kercedasan para guru. Bahkan PGRI menyambut baik komitmen Flores Pos yang akan memberi ruang bagi para guru untuk menulis di koran.
Lukas Lege dan Pater Laurens Olanama SVD dari Penerbit Nusa Indah juga menyanggupi dan malah mendorong para guru untuk bersama-sama menerbitkan buku. Beberapa tahun lalu, kata Lukas Lege, Penerbit Nusa Indah coba mendampingi para guru untuk menulis buku. Namun usaha ini mentok. Kini Penerbit membangun komitmen dan prakarsa baru untuk bersama-sama para guru menerbitkan buku.
Don Wangge sebagai kepala dinas juga menyanggupi hal ini. Dia mengatakan, Dinas pernah membantu menerbitkan buku yang diterbitkan Pater Gabriel Goran SVD. Dinas akan menyambut baik, bahkan mendorong para guru menulis buku pelajaran.
Selain media massa, ada jurnal yang bisa memuat karya tulis para guru. Ada lembaga yang membantu para guru membuat penelitian.
Diskusi ini kemudian ternyata mampu memberi rangsangan baru dan melahirkan prakarsa-prakarsa baru, selain membantu para guru menjadi guru yang profesional, tetapi juga menarik energi baru untuk memajukan dunia pendidikan di Kabupaten Ende. Ternyata, masih ada sebatang lilin di ujung terowongan gelap sertifikasi guru dan peningkatan mutu pendidikan. Hanya satu yang tersisa, apakah guru sendiri punya komitmen untuk menolong diri mereka sendiri? Karena semuanya akan menjadi sia-sia jika guru hanya menunggu sebuah mukjizat datang.*

Flores Pos | Feature | Sertifikasi Guru
|22 Februari 2008 |

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Saya kira, point penting dalam usaha menapaki proses setifikasi guru adalah pengetahuan.
Dan buku adalah salahsatu jawabannya.
Ada buku bertema tentang pendidikan dan guru, yaitu: Evolusi Pendidikan di Indonesia.

Buku ini menjelaskan dan menguraikan sejarah (dalam aspek sosial politik) keberadaan lembaga Kweekschool_lembaga pertama keguruan di Indonesia sampai IKIP. Dijelaskan pula dinamika sosial dalam proses-proses perubahan kelembagaan tersebut.

Anonim mengatakan...

Hello. This post is likeable, and your blog is very interesting, congratulations :-). I will add in my blogroll =). If possible gives a last there on my blog, it is about the Fragmentadora de Papel, I hope you enjoy. The address is http://fragmentadora-de-papel.blogspot.com. A hug.